Senin, 07 September 2009

Sekali Lagi

Sekali Lagi

Kantuk mulai menyerang dirinya. Ia pun melangkahkan kaki tuanya dengan lemah menuju ke tempat tidur. Sesampai di kamar ia pandangi ranjang tidurnya, ada yang hilang semenjak ia bercerai 34 tahun yang lalu. Semenjak itu ia selalu tidur sendiri di ranjang tersebut. Tidak sudi ia membawa wanita lain tidur di ranjang itu. Ia sudah hampir lupa bagaimana rasanya dipeluk oleh seorang wanita yang dicintainya sebelum tidur, mungkin juga karena pria tersebut sudah mulai pikun. Pria itu pun berdiam sejenak, dalam hati ia bersumpah bahwa ia rela menukar segalanya demi merasakan rasa itu lagi, sebelum ia dipanggil menghadap-Nya. Harta yang dimilikinya seaka tak ada artinya Karena ia merasa bahwa saatnya sudah semakin dekat. Kembali ia memandang foto istrinya di meja samping tempat tidurnya, mengingat kembali segala kenangan yang telah berlalu. Hal itu hanya menambah pedih hatinya.

Ia masih ingat benar hari itu, hari dimana istrinya memutuskan untuk meninggalkannya. Saat itu usianya 44 tahun, sementara istrinya 42 tahun. Ya, ia memang mengaku salah, karena ia ketahuan bermain dengan wanita lain. Ia tergoda oleh rayuan dari salah satu pegawainya. Pegawainya itu memang masih muda, dengan badan yang masih kencang dan menggoda. Walaupun begitu, hanya sekali ia selingkuh. Sayang, tidak ada kesempatan kedua baginya.

Pada awalnya ia pun berpikir bahwa ia tidak akan merasa kehilangan pelukan istrinya, karena ia bisa dengan mudah mendapatkannya dari wanita lain. Ternyata ia salah. Oleh karena itulah setelah bercerai, ia merasa sangat menderita. Karena harus ia akui, sepanjang hidupnya, tidak ada wanita lain yang mampu memberikan dirinya ketenangan seperti yang diberikan oleh istrinya. Rasa ketika istrinya memeluknya saat hendak tidur dan menyandarkan kepalanya di bahu dadanya. Saat itulah ia merasa tenang dan lengkap sebagai seorang pria. Suatu rasa yang tidak mampu diberikan wanita lain. Ia sudah hampir putus asa karenanya, berpikir bahwa ia akan mati dalam kesepian, tanpa adanya perasaan seperti itu lagi.

Pagi saat ia bangun tidur. Sebelum ia berangkat menuju ke kantor perusahaan miliknya, salah satu ajudannya memberikan telepon. Ternyata anak bungsunya yang menelpon. Undangan pernikahan. Ternyata pernikahan dari putra bungsunya. Ia hanya tersenyum, putranya ini menikah cukup terlambat, baru menikah di usia ke 35. Putra bungsunya memang yang paling dekat dengannya. Entah kenapa, mungkin karena saat bercerai putranya ini baru berusia 1 tahun, sehingga ia merasa bahwa putranya ini masih membutuhkan kehadiran dirinya. Ia pun selalu meluangkan waktunya untuk bisa bersama dengan putra bungsunya tersebut. Hingga kini hubungan mereka sangatlah akrab, jauh lebih akrab dari hubungannya dengan kedua anak lainnya. Sehingga saat pernikahan kedua anaknya yang lain, ia tidak diundang. Dilihatnya tanggal di undangan tersebut, masih seminggu lagi, bertempat di kota kelahiran istrinya, kota dimana ia pertama kali bertemu dengan istrinya, kota yang juga menjadi tempat pernikahan mereka berdua. Ia sendiri tidak berasal dari kota yang sama dengan istrinya, ia hanya kuliah selama 4 tahun di kota tersebut. Tetapi kota itu menyimpan segala kenangan terindahnya. Ia tidak mengerti apa kehendak Tuhan kali ini.

Seminggu kemudian, pria itu berdiri di depan gedung pernikahan anaknya. Hatinya berkecamuk. Bagaimana tidak? Anak kesayangannya menikah di gedung yang sama dengan dirinya. Gemetar kakinya saat melangkah masuk ke gedung itu. Karena segala kenangan dengan istrinya, atau karena dirinya sudah begitu tua?

Sewaktu hendak melangsungkan pernikahan dengan istrinya, ia menyerahkan segala persiapan kepada istrinya. Ia pun hanya tertawa ketika istrinya memilih untuk menikah di gedung tua peninggalan belanda tersebut. Tetapi istrinya mempunyai alasan lain, katanya itu tempat dimana mereka pertama kali bertemu. Memang di gedung tua tersebut sering diadakan konser musik klasik. Mereka berdua tertarik akan musik klasik. Satu-satunya hal yang menarik perhatian mereka berdua. Karena antara ia dan istrinya sangatlah bertolak belakang dari berbagai hal. 10 tahun mereka berpacaran, gedung itu sering mereka kunjungi. Ketika mereka sudah lulus kuliah dan bekerja di kota lain, gedung itu juga selalu dikunjungi jika mereka berada di kota tersebut. Sehingga gedung itu sangatlah berarti bagi mereka berdua.

Saat bertemu dengan istrinya, hatinya begitu kalut tak karuan. Perasaan yang sama seperti ketika ia pertama kali melihat wanita tersebut di gedung ini. Tak mampu ia berkata banyak saat berhadapan kali ini. Ternyata hatinya begitu merindukan wanita tersebut. Air mata mengalir pelan di pipinya. Buru-buru ia permisi dan melangkah ke kamar mandi. Jantungnya berdegup terlalu kencang, ia pun susah bernapas. Kepalanya sakit sekali. Dunia seakan berputar-putar. Terbatuk-batuk ia. Ternyata batuknya berdarah. Segera diminum obat-obatan miliknya langsung dari botol. Pil-pil tersebut seakan menggelinding dari botol menuju tenggorokannya. Sialan, ia mengumpat. Susah sekali berumur 78 tahun dengan segala penyakit yang menyertainya.

Sekembali dari kamar mandi, kini ia sudah jauh lebih tenang. Walau begitu jantungnya masih berdegup kencang saat berbincang-bincang dengan istrinya. Istrinya tidak menikah lagi semenjak mereka berpisah. Suatu hal yang tidak bisa ia percayai. Di usianya yang senja ini istrinya masih terlihat cantik. Walau istrinya telah berumur 76 tahun, tetap saja istrinya mampu mencuri segala perhatiannya. Ia selalu rindu akan sorot mata dan suara istrinya, yang selalu menenangkan dirinya.

Saat ini resepsi perikahan anaknya telah selesai. Jam di arlojinya menunjukkan pukul 22.05. Ia hanya tersenyum. Hari ini semakin mendekati akhirnya, seperti hidupnya, begitu pikir pria tersebut. Ia tidak rela jauh-jauh datang kesini tanpa mendapatkan mimpinya. Maka ia pun menghampiri istrinya, dengan didorong satu harapan terakhir. Jantungnya berdegup semakin kencang, terlalu kencang.

Ia tidak percaya. Ia terbangun di rumah sakit. Di sebelahnya duduk istrinya dengan mata sembab, karena terlalu banyak menangis. Istrinya mengatakan bahwa ia terkena serangan jantung di pernikahan anaknya tadi. ia mengatakan bahwa keluarganya menunggu di luar kamar. Di kamar tersebut hanya ada mereka mereka berdua. Ia tersadar, bahwa istrinya menemani dirinya di akhir hidupnya.

Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang perlu diungkapkan. Mereka berdua sudah tahu bagaimana perasaan masng-masing. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Berdua hanyut dalam perasaan rindu. Tangannya menggenggam tangan istrinya. Degup jantung pria itu semakin lemah. Ia sampai harus memicingkan matanya. Napasnya mulai jarang. Kepalannya mulai ringan. Tangannya merogoh-rogoh kantung celananya, tetapi ia tidak menemukan yang ia cari. Saat itulah ia sadar akan 2 hal, bahwa ia tidak membawa obat-obatan tersebut serta hidupnya akan segera berakhir. Istrinya pun segera bangkit dari tempat duduk, ia ingin memanggil dokter. Tetapi pria itu melarangnya. Ia mengatakan bahwa semua yang dibutuhkan dirinya adalah kehadiran istrinya. Maka ia pun mengutarakan mimpinya kepada istrinya, bahwa ia ingin merasakan rasa yang telah lama hilang. Ia ingin istrinya memeluknya dan menyandarkan kepalanya di dadanya sebelum tidur sekali lagi.


Kini istrinya telah berada di sampingnya. Istrinya telah naik ke ranjang. Kepalanya mulai ringan. Denyut jantungnya semakin lemah. Ia meminta agar istrinya jangan pergi, tetap berada di sampingnya, Samar-samar ia mendengar istrinya menangis. Ia pun merasakan bagaimana air mata istrinya membasahi dadanya serta bagaimana istrinya terisak-isak. Pria itupun berusaha mengucapkan sesuatu, dengan pelan. Ia meminta maaf. Wanita itu merasa menyesal. Mengapa ia tidak memaafkannya saja dari dulu. 34 tahun terbuang percuma. Sementara itu pandangan pria tersebut semakin gelap. Hingga akhirnya hanya kegelapan yang dilihatnya. Akhirnya, sekali lagi. Ia merasakan istrinya memeluknya dengan erat dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Pria itu hanya tersenyum.

Tidak ada komentar: