Sabtu, 25 Juli 2009

Saat Terjaga Sendiri

Saat Terjaga Sendiri

Dia berkedip sekali. Diikuti beberapa kedipan lainnya. Tetap sama seperti biasa. Selalu terjaga saat orang lain tidur. Lalu dia membalikan badannya ke samping dengan gelisah seraya berpikir mencari solusi agar segera bisa tidur. Hasilnya pun tetap sama, tidak berhasil. Dia baru bisa terlelap saat sinar mentari mulai tampak di Timur sana.

Jam menunjukkan pukul 02.57 WIB. Di sebelahnya tergeletak istrinya. Dia memandang wajah istrinya seraya berpikir dengan heran mengapa muka istrinya terlihat begitu tenang dan teduh. Menurutnya istrinya tidak banyak bergerak saat tidur. Bahkan bisa dibilang tidak ada perubaan posisi semenjak memejamkan mata hingga terbangun kembali. Sungguh teramat beda saat menjalani rutinitas sehari-hari. Ia pun hanya tersenyum kecil sambil bergegas meninggalkan ranjangnya.

Sambil menuruni tangga ia mulai menyalakan rokoknya. Sunyi. Tidak ada yang terbangun di rumah itu kecuali dirinya. Dengan begitu ia bebas untuk merokok di mana saja. Ia pun berpikir untuk merokok di teras depan malam ini. Tempat itu merupakan tempat favoritnya. Sebelum melangkah ke tempat favoritnya, ia membuat segelas cokelat hangat. Sambil menuangkan air panas ia pun membayangkan betapa nikmatnya merokok ditemani angin malam dan segelas cokelat hangat.

Kebiasaan ini baru berjalan beberapa bulan. Ia selalu sembunyi-sembunyi apabila saat sedang merokok. Kadang ia bersykur mempunyai insomnia karena ia bisa merokok saat tengah malam seperti ini. Ya, hanya dirinya sendiri yang tahu. Tidak banyak orang yang mengetahui kebiasaan buruknya ini, bahkan keluarganya sendiri. Istrinya sangat membenci asap rokok. Hal itu dikarenakan salah satu pamannya meninggal akibat kanker paru-paru. Terlebih istrinya sangat dekat dengan pamannya tersebut. Ia serta istrinya mendoktrin anak-anak mereka untuk tidak merokok. Bahwa merokok itu teramat buruk. Dulu ia juga membenci asap rokok. Tetapi selalu ada hal buruk yang menimpa dan merubah hidup seorang pria.

Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Dedaunan pun ikut bergoyang. Ia berpikir mungkin akan turun hujan. Biasanya pada saat seperti ini ia berpikir tentang kehidupannya. Ada satu hal yang belakangan ini menyita banyak perhatiannya. Ya, apa yang telah ia lakukan.

Wanita itu selalu memabukkan dirinya. Setiap perjumpaan dengannya selalu terasa berbeda. Tidak pernah sama, begitu menantang dan mengasyikkan. Kini berkat wanita itu, ia merasa ada hal yang harus ditaklukan dan dikejar lagi. Hidupnya kini kembali dipenuhi perasaan lapar dan hasrat. Memang begitu kebiasaan pria, selalu senang akan tantangan dari suatu hal yang baru. Sebenarnya wanita itu memberi banyak dampak postif. Setidaknya menurut dirinya sendiri. Sayangnya wanita itu merupakan simpanan.

Ia pun hanya tersenyum kecil, mengingat perjumpaan pertama dengan wanita tersebut. Semua berjalan begitu cepat dan mengalir begitu saja. Tidak pernah ia membuat janji untuk bertemu dengan wanita itu. Semua berjalan seperti kebetulan. Rutinitas memang membingungkan. Kadang kita melakukan hal yang sama persis setiap hari tetapi mempunyai akibat yang berbeda.

Seperti biasa, sehabis pulang kantor pada hari Jumat, ia selalu mampir ke toko buku. Memang ia sangat senang membaca. Ia selalu beralasan membeli buku-buku tersebut untuk menemaninya di akhir pekan. Pada suatu hari ia melihat seorang wanita. Sebenarnya wanita tersebut biasa saja. Berumur sekitar 30an. Tidak terlalu tinggi, agak pendek. Berkulit cokelat matang. Hanya saja, sepertinya ada yang beda dari dirinya. Ternyata ia juga membeli buku yang sama. Maka ia pun memperkenalkan dirinya. Ia pun mengajak wanita itu untuk berbincang sejenak di kafe. Lalu mereka pun menghabiskan sore dengan mengobrol di kafe. Obrolan mereka berkisar tentang buku. Ternyata wanita tersebut juga mempunyai hobi yang sama. Ada yang bilang bahwa jatuh cinta itu seperti petir. Kita tidak bisa menebak akan jatuh di mana. Ia pun setuju dengan hal itu.

Pada minggu-minggu selanjutnya mereka selalu bertemu di toko buku yang sama. Mereka berdua bahkan tidak saling mengetahui nomor telepon masing-masing. Mereka hanya berpedoman pada kebiasaan akhir pekan mereka. Yang kemudian berlanjut lebih jauh. Bahkan terlalu jauh.

Sudah 3 bulan ini istrinya sakit keras. Menurut dokter istrinya mengalami gangguan pada jantungnya, lebih tepatnya pada pembuluhnya. Semenjak itu ia merasa bersalah pada istrinya. Karena ia tidak bisa menemaninya setiap saat. Saat pertama istrinya terkena serangan jantung hingga dirawat di ICU, ia sedang bersama wanita itu. Ia kini ingin memutuskan hubungannya dengan wanita tersebut dan ingin lebih fokus untuk mengurus istrinya. Tetapi kini wanita itu hamil. Ya, wanita itu kini mengandung anaknya. Kini wanita itu meminta nomor teleponnya, untuk meminta pertanggung jawaban. Kini usia kandungannya sudah berusia lebih dari 2 bulan. Itulah mengapa ia kini sering merokok. Terutama pada malam hari. Ia merasa mempunyai alasan untuk merokok.

Samar-samar ia mendengar suara dari masjid di belakang rumahnya. Rupanya sebentar lagi Subuh. Ia pun mematikan rokoknya. Hari ini ia hampir menghabiskan satu bungkus Gudang Garamnya. Dirinya kini merasa kantuk. Serta teramat lelah. Ia berpikir bahwa dirinya lelah secara mental. Langsung saja ia menuju kamarnya.

Seperti biasa, ia bangun tidur pukul 07.30. Langsung saja ia menuju kamar mandi. Selepas dari kamar mandi, saat menuruni tangga ia melihat istrinya sedang duduk di meja makan. Sepertinya istrinya sedang menunggunya. Ternyata istrinya menemukan bungkus rokoknya. Ia tersadar bahwa ia lupa membawa dan menyembunyikan rokoknya. Tentu saja istrinya marah besar, ia merasa ditipu. Ia bingung harus berkata apa kepada anak-anaknya, bahwa ternyata ayah mereka seorang yang munafik. Ia mengakui dalam hati, bahwa memang selama ini ia telah menipu istrinya. Istrinya terus bertanya kenapa ia merokok. Sejak kapan ia mulai merokok. Ia hanya bisa terdiam. Jauh di dalam hatinya ia merasa mempunyai alibi untuk merokok. Seandainya istrinya tahu apa alasannya, mungkin istrinya akan mengerti mengapa ia merokok. Karena alasan bisa membuat yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah. Setidaknya ia berpendapat seperti itu.

Senin, 20 Juli 2009

Mogok dan Ke(tidak)pedulian

Mogok dan Ke(tidak)pedulian

Pada Sabtu sore ini mobil pick-up saya mogok karena kehabisan bensin di sekitar wilayah Pamulang. Untung saja mobil tersebut mogok tepat di depan SPBU. Maka saya dan supir saya pun mencoba untuk mendorongnya. Hanya saja karena mobil pick-up itu dipenuhi oleh tabung gas maka tenaga kami berdua tidaklah cukup. Mobil tetap tidak bergeming. Sekitar 20 meter dari tempat saya, terdapat lima anak Punk yang sedang memperhatikan saya. Sayangnya mereka hanya diam saja. Hingga salah satu petugas SPBU ikut membantu kami untuk mendorong. Dengan bantuan petugas tersebut maka mobil ini bisa didorong hingga sampai di tempat pengisisan bensin.

Setelah saya mengisi bensin, maka mobil pun sudah bisa menyala kembali. Lalu mobil segera meluncur keluar dari SPBU. Tepat di depan pintu keluar SPBU anak-anak Punk yang tadi memperhatikan kami menyetop mobil untuk meminta tumpangan. Maka mobil pun berhenti.
“Bang!!!Numpang ya Bang!!!”, celetuk salah satu anak Punk.
”Lo emang pada mau kemana?”, saya pun bertanya kepada mereka.
“Kemana aja Bang. Yang penting ikut....”, yang lainnya ikut menjawab
“Yah elu..tadi mobil gw mogok lo pada kagak mau bantuin dorong. Sekarang mobil udah jalan lo pada mau ikut nebeng. Gimana sih?”, saya pun bertanya sambil memendam perasaan agak sebal.
“Hehehehe....”, mereka hanya tertawa. Tetapi mereka tetap naik ke bak mobil. Saya pun tidak terlau keberatan dengan memberi mereka tumpangan. Karena saya juga sering menumpang mobil bak sewaktu kecil.

Di tengah jalan mereka bernyanyi bersama-sama. Kebetulan beberapa dari mereka membawa alat musik seperti gitar dan gendang. Mungkin untuk mengusir jenuh karena jalan cukup macet di ujung Pondok Cabe. Seperti biasa, lagu-lagu yang mereka nyanyikan bertema tentang ketidakadilan sosial, menghujat kaum elite serta harapan-harapan mereka akan kondisi yang lebih baik (untuk mereka). Mungkin dengan menyanyikan lagu seperti itu mereka merasa menjadi lebih peduli terhadap lingkungan sekitar.

Pada saat mendengar lagu-lagu yang mereka mainkan saya pun tersenyum sinis. Mereka merasa muak dan skeptis dengan kondisi sekarang. Seakan mereka menyuarakan ketidakadilan bagi kaum tertindas. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan, kalau hanya untuk membantu mobil yang mogok saja mereka tidak mau? Bagaimana mereka bisa mengubah dunia menjadi lebih baik? Bagi saya, lagu-lagu yang mereka nyanyikan hanyalah kata-kata yang keluar dari mulut semata. Tidak mempunyai makna. Karena kata-kata mereka tidaklah diamalkan. Tidak ada bedanya dengan para politikus yang mengumbar janji-janji palsu, yang mereka hujat habis-habisan dala lirik lagu mereka karena politikus-politikus tersebut mereka anggap tidak peduli terhadap rakyat. Mereka toh juga tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Lalu buat apa mereka menyanyikan lagu-lagu tersebut? Seharusnya mereka malu.

Setelah mendekati Fatmawati, mobil pun berbelok memasuki Taman Cilandak. Di situ mereka meminta turun.
“Makasih ya Bang!!”, salah satu anak mengucapkan sambil mendekati saya
“Sip..sip....”, saya pun hanya mengangguk-anggukan kepala.
Sebelum mereka pergi saya memanggil salah satu dari mereka, “Oi....oi....sini bentar dah....lain kali kalo ada orang yang mbilnya mogok....bantuin ya....hehehe”. Seketika anak tersebut agak terkejut. Mungkin ia tidak menyangka saya akan berkata seperti itu. ”I....iya..iya...iya....bang.....”, begitu jawabnya. Sementara temannya yang lain berkata, “Makasih banyak bang!!!”, tepat pada saat mobil mulai melaju. Sayapun hanya mengacungkan jempol sebagai tanda balasan.

-Semoga saja masih ada orang yang rela untuk tidak selalu memikirkan dirinya sendiri.-