Senin, 07 September 2009

Belajar dari Malaysia

Belajar dari Malaysia


Orang bijak pernah berkata bahwa selalu ada hikmah di balik semua kejadian yang terjadi. Di kebudayaan Barat terkenal ungkapan “blessing in disguise”, yang artinya kurang lebih sama, yaitu ada hal baik yang terjadi di balik kemalangan. Saya kurang lebih setuju dengan ungkapan tersebut, khususnya tentang negara kita, Indonesia.

Beberapa waktu yang lalu, tetangga serumpun kita, Malaysia, mengakui beberapa kebudayaan milik Indonesia seperti lagu “Rasa Sayange”, Tari pindik (asal Bali) dll menjadi milik Malaysia. Sebagai warga negara Indonesia, tentu saja kita marah atas perbuatan Malaysia yang tidak sopan tersebut. Bahkan sampai ada gerakan sentimen anti Malaysia. Tulisan ini tidak akan membahas tentang bagaimana kebencian masyarakat Indonesia atas perlakuan Malaysia serta mengapa Malasysia mengambil beberapa kebudayaan milik kita, tetapi tulisan ini akan mengajak kita untuk berpikir tentang diri kita sendiri, atau kurang lebih berkaca, sebagai seorang warga Indonesia.

Sudah saya jelaskan di atas, bahwa setiap kejadia pasti mempunyai hikmah. Lalu apa hikmah yang didapat dari perlakuan Malaysia tersebut? Sebenarnya kita bisa mengambil beberapa hikmah, asalkan kita tahu bagaimana harus bersikap. Tentu saja dengan kepala dingin dan berpikir masak-masak, janganlah kalian bertindak anarki. Hikmah yang bisa didapat antara lain persatuan Indonesia, melek budaya bangsa dan bercermin sendiri.

Persatuan Indonesia. Mungkin kalian merasa bahwa semenjak Malaysia bersikap kurang ajar, banyak masyarakat Indonesia yang “mendadak” menjadi sentimen terhadap Malaysia. Dengan begitu, maka masyarakat Indonesia semakin bersatu, karena masyarakat Indonesia merasa bahwa mereka mempunyai “musuh” bersama, yang hobinya mengambil kebudayaan milik bangsa Indonesia, yaitu Malaysia. Karena Malasia maka rasa nasionalisme & persatuan Indonesia meingkat (walapun mungkin hanya sesat saja).

Sejarah membuktikan bahwa jika beberapa kaum mempunyai musuh bersama maka mereka bisa menjadi sekutu. Perang Dunia 2 (1939-1945) membuktikan hal tersebut. Demi menghalau kekejaman Nazi, maka Amerika Serikat dan Rusia bisa bersatu dan menggempur Jerman secara bersamaan, dengan AS dari sebelah Barat dan Rusia dari sebelah Timur. Walapun setelahnya mereka mengalami perang dingin, tetapi setidaknya mereka sempat “berkoalisi” karena mereka mempunyai mush bersama pada Perang Dunia 2, meski ada politik kepentingan yang menyertai aksi mereka.

Coba kalian perhatikan, ada berapa kebudayaan Indonesia yang “dicuri” oleh Malaysia? Semenjak kejadian tersebut kini banyak orang Indonesia yang lebih peduli terhadap kebudayaan Indonesia sendiri, atau jika masih belum teralu peduli setidaknya mereka mulai mengenal dan tahu ada apa saja di kebudayaan bangsanya sendiri. Mata kita semakin terbuka, bahwa ternyata Indonesia mempunyai begitu banyak kebudayaan yang sangat berharga. Kebudayaan itu berasal dari para leluhur kita, oleh karena itu amatlah disayangkan jika kebudayaan yang merupakan peninggalan berharga dari para leluhur kita tiba-tiba diakui oleh suatu bangsa di negeri seberang. Seharusnya kita sebagai penerus bangsa Indonesia mencoba untuk melestarikan kebudayaan yang ada. Setidaknya mencoba untuk menghargai kebudayaan milik kita sendiri, salah satu caranya ialah dengan lebih mengenal kebudayaan milik kita.

Selanjutnya bagian yang terakhir. Bagian ini merupakan bagian yang paling tidak enak, karena pada bagian ini kita “dipaksa” untuk menjilat borok kita sendiri. Kita tahu, Malaysia bukan pertama kali ini mengambil salah satu kebudayaan kita, lalu mengapa kita masih diam saja? Tidak ada tindakan preventif dari masyarakat dan pemerintah Indonesia. Seperti biasa, kita baru berkoar-koar saat kasus pencurian kebudayaan itu sedang marak-maraknya. Tapi coba perhatikan, selang beberapa bulan dari sekarang mungkin kita sudah lupa tentang kasus kemarin. Kita baru berkoar-koar lagi, seperti pahlawan kesiangan, saat ada kebudayaan kita yang dicuri lagi. Sudah terlambat kawan!!! Mengapa kita masih lebih senang “mengobati” daripada “mencegah”? Tidak bisakah kita belajar dari sejarah? Alangkah sangat baiknya jika belaara dari kesalahan dan mencoba melakukan tindakan priventif.

Seharusnya setelah peristiwa pencurian kebudayaan ini terjadi beberapa kali, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat (khususnya mereka yang berkecimpung di bidang seni dan budaya) mencoba untuk mematenkan semua kebudayaan milik Indonesia, agar nantinya tidak ada lagi kebudayaan kita yang dicuri. Kita harus merubah pola berpikir kita, sehingga menjadi “mencegah” lebih baik daripada “mengobati”, dengan begitu maka kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Sehingga pada akhirnya slogan Malaysia yang berbunyi “Truly Asia” akan bertambah menjadi “Truly Asia (exclude Indonesian culture)”

Semoga nanti pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia bisa lebih peduli dalam melestarikan dan menghargai berbagai kebudayaan Indonesia.

Tidak ada komentar: