Selasa, 10 November 2009

Snacknya Yang Membedakan

Snacknya Yang Membedakan

Sejak zaman penjajahan dulu hingga era globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia mempunyai sikap “mendewakan” segala sesuatu yang berbau “Barat”. Menurut saya hal itu tidaklah salah secara keseluruhan. Karena bagaimanapun juga bangsa Barat (baca: penjajah) mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia ini. Salah satu yang menjadi perbedaan dasar antara Indonesia dengan bangsa Barat ialah produktivitas.

Mengapa saya memilih untuk melihat dari segi produktivitas? Karena menurut saya produktivitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kualitas sumber daya manusia dapat teraplikasikan melalui produktivitas. Makin tinggi kualitas suatu manusia (labor) maka akan makin tinggi produktivitasnya yang berarti pembangunan dapat berjalan dengan lebih cepat dan mudah. Sekarang mari kita bahas mengapa produktivitas masyarakat Indonesia bisa berbeda dengan masyarakat “Londo”.

Faktor pertama yang saya perhatikan ialah dari segi makanan, baik secara kualitas dan kapan kita menyantap makanan tersebut. Kita asumsikan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia (kita sebut mereka pekerja atau labor) sarapan pada pukul 06.00-07.00. Setelah sarapan maka para pekerja Indonesia pergi untuk beraktivitas baik untuk sekolah, kuliah maupun pergi bekerja (dalam kasus ini saya akan lebih fokus pada masyarakat yang bekerja). Dari pukul 08.00-10.30 produktivitas pekerja Indonesia sedang mencapai puncaknya karena mereka masih merasa kenyang sehingga bisa konsentrasi dalam pekerjaan mereka. Tetapi setelah pukul 13.00 produktivitas mulai menurun, karena mereka mulai merasa kelaparan. Tetapi karena rata-rata istirahat makan siang dimulai pada pukul 12.00 maka mau tidak mau mereka terpaksa menahan lapar mereka sambil terus beraktivitas. Tentu saja produktivitas mereka terganggu.
Setelah itu pekerja Indonesia pergi untuk makan siang pada pukul 12.00. Tentu saja karena mereka sudah merasa sangat kelaparan maka mereka pun makan dengan lahap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum merasa kenyang jika belum menyantap nasi. Maka mereka pun memilih untuk mengkonsumsi nasi dengan jumlah yang sangat banyak (bahkan kadang-kadang beberapa di antara mereka mengkonsumsi hingga 2 porsi). Karena pada awalnya mereka merasa sangat kelaparan, lalu mereka makan siang dengan lahap (atau kalap? Hingga keringat bercucuran lalu berkata, “Wah...abis makan jadi seger!!!”. Seger apaan, ada juga abis makan, terus kekenyangan terus jadinya ngantuk.) maka setelah makan siang mereka merasa kekenyangan. Belum lagi untuk para pekerja yang merokok. Mereka “wajib” untuk merokok dahulu selepas makan, karena mereka menganggap sebatang rokok sebagai “dessert”.

Karena merasa kekenyangan maka banyak diantara mereka yang menjadi malas dan merasa ngantuk (tu..bener kan jadi ngantuk!!!). Banyak di antara mereka yang memilih untuk tidur siang setelah makan siang. Karena mengantuk itulah maka selepas makan siang produktivitas mereka pun bukannya kembali membaik (seperti pukul 08.00-10.30) malah tetap buruk. Bedanya jika tadi produktivitas mereka buruk karena kelaparan maka kini karena kekenyangan.

Hal ini sangatlah berbeda dengan para pekerja “Bule”. Kita asumsikan mereka mempunyai jadwal sarapan yang sama dengan bangsa kita (karena saya ingin fokus kepada para pekerja Bule yang bekerja di Indonesia, agar perbandingannya lebih komparatif), yaitu pada pukul 06.00-07.00. Setelah itu sama seperti para pekerja Indonesia mereka pun segera pergi untuk bekerja. Produktivitas mereka pun sedang kencang-kencangnya pada pukul 08.00 10.30. Baru setelah pukul 10.30 mereka mulai merasa kelaparan.

Disinilah letak perbedaan antara pekerja Indonesia dengan pekerja Bule yang menjadi kunci.Saat pekerja Bule kelaparan setelah pukul 10.30 mereka menyemil atau makan snack (biasa dikenal dengan nyenek). Dengan nyenek maka rasa lapar mereka pun sedikit terobati sehingga produktivitas mereka tidak turun terlalu jauh seperti para pekerja Indonesia atau bahkan tetap terjaga seperti sebelumnya. Karena mereka biasa nyenek maka saat makan siang mereka tidak merasa kelaparan yang amat menderita. Sehingga mereka pun menyantap makan siang dengan porsi secukupnya. Setelah makan siang mereka tidak merasa kekenyangan, hanya “cukup kenyang” karena tadi hanya “cukup lapar”. Karena perut mereka tidak terlalu memuat banyak muatan (baca: kekenyangan) maka produktivitas mereka setelah makan siang dapat terjaga dan kembali seperti pada pukul 08.00-10.30.

Ternyata nyenek menjadi faktor kunci yang memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas. Oleh karena itu, sangatlah disarankan bagi para masyarakat Indonesia (tidak hanya pekerja saja) untuk nyenek seperti para pekerja Bule saat rasa lapar mulai mengganggu. Hal ini dikarenakan supaya rasa lapar tersebut tidak sampai menganggu produktivitas dan tidak sampai membuat kita merasa sangat kelaparan saat makan siang. Sehingga kita dapat kenyang dengan makan siang secukupnya dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan tidak baik. Seperti salah satu hadist Rasul, yaitu kita dianjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang. Menurut saya hal tersebut ada hubungannya dengan rasa kekenyangan yang dapat mengganggu produktivitas.

Selain itu nyenek juga mempunyai manfaat lain, yaitu sebagai ajang sosial. Istirahat 5-10 menit (contoh: Kopet dll) sambil nyenek ditemani obrolan-obrolan ringan bersama rekan-rekan kerja akan membuat suasana di lingkungan kerja menjadi lebih akrab dan hangat. Selain itu hubungan antar pekerja juga makin akrab. Dengan hubungan yang makin akrab ditambah suasana yang juga semakin haromis dan kondusif maka produktivitas para pekerja juga akan meningkat.

Nyenek --> tidak terlalu lapar --> produktivitas terjaga --> makan siang secukupnya --> tidak kekenyangan --> produktivitas juga masih terjaga --> bangsa untung