Sabtu, 22 Agustus 2009

Beruntung atau Sial?

Beruntung atau Sial?

20 Agustus
Pukul 05.23
Hilang sudah harapanku untuk memperbaiki hubunganku dengan kedua orangtuanya. Bagaimana ingin memperbaiki hubungan jika satu-satunya putri, yang tentu saja menjadi buah hati mereka, diculik? Hingga kini polisi belum berhasil menemukan petunjuk yang menunjukkan keberadaannya. Bahkan menurut hipotesis salah satu polisi, ia sudah tewas. Karena mereka menemukan bekas darah pada jaket yang dikenakan pacarku. Beginilah keadaanku sekarang, kehilangan seorang wanita yang sangat aku cintai. Pasti kalian berpikir bahwa keadaan tidak bisa menjadi lebih buruk lagi. Kalian salah. Karena aku juga disalahkan oleh kedua orangtuanya perihal penculikan putri mereka. Tentu saja mereka menyalahkan aku, karena sebagai pacarnya seharusnya aku menjaganya, bukan meninggalkannya sendiri. Setidaknya begitulah pemikiran mereka. Selain itu aku orang terakhir yang bersamanya. Bagaimana menurut kalian? Sungguh sial bukan nasibku ini?

20 Agustus
Pukul 00.57
Sesampai di kantor polisi aku dimaki-maki oleh kedua orangtuanya. Mereka menuduh aku menelantarkan putri mereka hingga ia akhirnya diculik. Mereka meminta agar aku dihukum dan dimasukkan ke dalam penjara. Usul yang sangat buruk, dan aku tidak setuju dengan usul mereka tersebut. Harus kuakui, hubunganku dengan kedua orangtua pacarku tidaklah terlalu mulus. Sebagai seorang pejabat dan berdarah biru mereka ingin putri mereka mendapat jodoh yang lebih baik dibandingkan diriku ini, yang merupakan mahasiswa dari keluarga pas-pasan asal desa. Untuk bisa kuliah saja orangtuaku harus menjual sepetak sawah. Sedangkan untuk selanjutnya aku mendapat bantuan dari beasiswa.
Para polisi dan keluarga mereka pun bersusah payah untuk meredakan amarah kedua orangtua pacarku. Aku hanya diam. Pasrah. Untungnya salah satu polisi tetap berkepala dingin. Ia memutuskan agar kami berpencar dan membantu pencarian pacarku itu. Tentu saja aku lebih setuju dengan usul polisi itu. Selalu ada harapan jika kita berusaha.

20 Agustus
Pukul 00.20
Tersentak aku mendengar handphoneku berbunyi. Aku berharap pacarku yang menelepon, karena semenjak aku mengantarnya aku belum mendapat kabar darinya. Selain itu ia juga tidak sedang online. Langsung saja kujawab panggilan tersebut.
Sialan!! Ternyata kedua orangtuanya meneleponku. Mereka meminta aku untuk datang ke kantor polisi, karena hingga kini putri mereka belum juga tiba di rumah. Padahal pacarku itu bukan tipe wanita yang senang pulang malam. Jelas saja kedua orangtuanya kalang kabut, akupun semenjak tadi hanya menunggu gelisah kabar darinya. Selain itu aku juga sudah menelepon beberapa temannya. Berharap ia bersama salah satu dari mereka, ternyata aku salah. Hingga kini pacarku itu tidak diketahui di mana keberadaannya. Langsung saja kunyalakan motorku dan meluncur ke kantor polisi.

19 Agustus
Pukul 23.22
Aku bingung. Hingga kini pacarku tidak memberi kabar. Padahal biasanya ia memberi kabar setelah sampai di rumah. Gelisah menyelimutiku. Aku tidak bisa berpikir dengan tenang. Ini di luar kebiasaan. Terbayang wajahnya. Apakah aku harus menelepon rumahnya? Aku tidak begitu yakin dengan ideku tersebut, mengingat bagaimana kedua orangtuanya memandang rendah diriku.
Lebih baik aku menghubungi teman-temannya saja, siapa tahu ia bersama dengan salah satu dari mereka. Atau mungkin saja ia terlalu asyik online dan berchatting ria bersama mereka. Berbeda dengan kedua orangtuanya, teman-temannya merestui hubungan kami. Walaupun pada awalnya mereka juga memandang rendah diriku ini, tetapi seiring berjalannya waktu mereka sadar. Bahwa aku memang tulus mencintai dirinya. Atau aku bisa pergi ke warnet, mengecek keberadaannya melalui dunia maya tersebut. Ya usul yang bagus. Segera kutelepon sahabatnya. Walapupun aku tidak terlalu yakin pacarku masih berada di luar rumah selarut ini, mengingat bagaimana kepribadiannya. Jika kita sudah melihat seseorang dengan hati, bukan dengan mata, maka logika tak lagi berarti.

19 Agustus
Pukul 22.46
Kulihat handphoneku, berharap ada pesan dari pacarku. Ternyata masih belum ada. Segera kulanjutkan tugas skripsiku.

19 Agustus
Pukul 22.18
Saat tiba di kamar, hal yang pertama kulakukan ialah mengecek handphoneku karena saat aku keluar untuk makan aku tidak membawanya. Ternyata tidak ada kabar dari pacarku. Akupun mencoba menghubunginya. Ternyata sama saja. Handphonenya mati. Aku heran, mengapa baterainya masih belum di charge. Apakah ia belum sampai rumah? Jika begitu, dimanakah ia sekarang? Tiba-tiba muncul perasaan agak khawatir. Walapun begitu, aku masih berpikiran positif, aku hanya mengirimkan pesan singkat agar ia menghubungiku sesampai rumah. Mungkin handphonenya dicopet atau ia terlalu lelah, sehingga ia tertidur begitu sampai rumah. Kedua hal itu sudah pernah terjadi. Lebih baik aku mengerjakan skripsiku sambil menunggu kabar darinya. Karena hidup terlalu singkat untuk diisi dengan kekosongan.

19 Agustus
Pukul 21.45
Hmm....badan terasa segar sekali setelah mandi. Jika segar begini, ditambah beberapa cangkir kopi dan sebungkus Gudang Garam, maka aku bisa mengerjakan skripsiku hingga pagi. Aku hanya tersenyum memikirkan betapa cemerlang ideku tersebut. Sesaat kemudian kutersadar, bahwa aku belum makan malam. Pantas saja perutku keroncongan. Lebih baik aku mengisi perutku terlebih dahulu. Segera aku berpakaian dan mengambil dompetku. Persiapan memang penting sebelum melakukan sesuatu.

19 Agustus
Pukul 21.31
Akhirnya tiba juga aku di kamar. Hari ini sungguh lelah, seharian ini aku beraktivitas tiada henti. Kuliah, mengajar asistensi, mengantar pacar hingga les bahasa inggris. Belum lagi aku harus mengerjakan sripsiku, memang berat menjadi seorang mahasiswa. Lebih baik aku mengabari pacarku terlebih dahulu, bahwa aku sudah tiba di kos-kosan. Tetapi kedua handphonenya masih belum aktif. Agak heran juga aku.
Mengingat semua kegiatan yang kujalani, aku hanya bisa tersenyum. Karena ada seorang wanita yang selalu mendukung dan menemani diriku. Ya, aku sungguh beruntung mempunyai pacar seperti dirinya. Seorang wanita yang sangat cantik, terutama kepribadiannya. Karena dia aku makin yakin menatap masa depan, bahwa semua manusia bisa menentukan takdirnya sendiri. Mungkin ada baiknya jika aku mandi terlebih dahulu.

19 Agustus
Pukul 21.01
Hahh...Lega rasanya. Selesai juga les bahasa inggris ini. Hari ini aku menjalani ujian kenaikan tingkat, sungguh susah. Soal-soal yang kuhadapi sungguh sukar. Hampir pecah rasanya kepalaku. Belum lagi ujian lisannya. Sebenarnya aku malas mengikuti les seperti ini. Bukan apa-apa, aku mengikuti les ini karena dorongan pacarku. Ia mengatakan bahwa akan sangat baik untuk memilik ketrampilan bahasa asing. Karena akan memudahkanku untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah di luar negeri. Aku pun hanya menuruti sarannya saja, karena sejauh ini saran-sarannya memang tidak pernah salah. Jujur saja, aku banyak berubah sejak menjalin hubungan dengannya. Setiap pria memang ditakdirkan untuk bersama seorang wanita yang akan membuatnya jadi lebih baik.

19 Agustus
Pukul 17.49
”Ndut....hati-hati ya...Kabari aku kalau kamu sudah sampai rumah”, aku berpesan kepada dirinya.
“Iya Yang, tapi handphoneku aku charge dulu ya....kamu juga hati-hati ya...sukses lho test inggrisnya”, pacarku pun mendoakanku agar aku sukses dalam tes inggrsku kali ini. Aku hanya tersenyum kecil. “Yang, besok kita jadi ke Bogor kan?”, pacarku bertanya perihal kencan kami esok.
“Jadi dong....besok ketemu di kampus jam 9 pagi ya”, aku hanya menjawab sambil tersenyum. Membayangkan betapa menyenenangkannya besok. Sengaja aku mengajak ia ke Bogor, karena ia memang suka dengan udara pegunungan. Menurutnya udara pegunungan membuatnya rileks dan bisa membuatnya tenang. Ia selalu suka jika pergi ke pegunungan dan ia juga sangat senang jika berada di tempat favoritnya bersama denganku. Begitu katanya. Apa yang lebih indah dari mengabiskan waktu bersama seseorang yang istimewa di tempat yang jug istimewa?

Maka pacarku pun melangkah pergi. Khusus setiap hari Selasa dan Kamis aku mengantarnya sampai Kuningan karena pada pukul 18.30 aku juga harus menghadiri les bahasa Inggris di sekitar Pancoran. Selain hari-hari itu, ia selalu membawa mobilnya. Yang mengherankan, ia senang dibonceng naik motor butut ini. Romantis. Begitu jawabnya saat aku menanyakan mengapa ia senang dibonceng olehku. Pacarku memang aneh. Ia tidak seperti wanita kebanyakan. Baginya cinta cukup diukur dari kesetiaan. Berbeda dengan wanita lainnya yang mengukur cinta dari materi dan materi. Sungguh beruntung aku bisa bersama dirinya. Segera aku meluncur menuju ke tempat lesku dengan harapan yang memenuhi hati. Rasanya aku pria yang paling beruntung di dunia.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Ekspolitasi Sampai Mati

Pada hari Selasa kemarin (4/8), Mbah Surip meninggal dunia. Hal itu sungguh mengejutkan seluruh kalangan masyarakat, bahkan Presiden SBY sampai menggelar jumpa pers untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Mbah Surip. Banyak masyarakat yang merasa kehilangan, apalagi kalau bukan karena Mbah Surip meninggal di tengah puncak popularitasnya.

Belum lama ini kita juga kehilangan salah satu musisi besar, bahkan tidak hanya masyarakat Indonesia yang merasa kehilangan melainkan seluruh masyarakat Planet Bumi. Ya, saat Michael Jackson meninggal sepertinya semua siaran televisi menayangkan berita tentang meninggalnya dia untuk mengenangnya. Di luar simpang siur akibat meninggalnya Michael Jackson, atau yang sering dipanggil Jacko, saya menemukan adanya benang merah antara Jacko dengan Mbah Surip.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Jacko meninggal pada saat memersiapkan diri untuk “World Tour Concert”nya. Yang menjadi masalah ialah bahwa ada beberapa kemungkinan yang menyebutkan Jacko “dipaksa” menggelar konser untuk melunasi hutangnya yang hampir mencapai Rp 5 triliun. Sehingga ia harus bekerja keras siang malam, bahkan hingga menggunakan berbagai obat terlarang untuk membantu mempersiapkan dirinya hingga ia meninggal.

Sementara itu Mbah Surip juga “hampir” mengalami nasib yang sama. Semenjak mengeluarkan lagu “Tak Gendong” yang menjadi hits, hidup Mbah Surip berubah 180 derajat. Jika dulu dirinya hidup santai dan damai kini dirinya tidak bisa lagi menikmati hal tersebut, karena ia harus memenuhi “panggilan tugas” untuk konser dan menjadi bintang tamu di berbagai acara, baik televisi maupun radio.

Pada Kompas tanggal 5 Agustus 2009, disebutkan bahwa Boy Utrip yang merupakan sopir Kampung Artis (Manajemen tempat Mbah Surip bernaung), juga meninggal pada hari yang sama dengan Mbah Surip. Boy biasa mengantarkan Mbah Surip bepergian selama ini. Bahkan beberapa hari sebelum Boy meninggal, ia sempat mengalami stroke karena terlalu lelah. Salah satu petinggi Kampung Artis yaitu Sugama Trisnadi menyatakan bahwa jadwal Mbah Surip sangatlah padat, minimal mereka mengunjungi hingga 4 tempat dalam sehari (Kompas, 5 Agustus 2009 hal 15). Bisa kita bayangkan bagaimana lelahnya Mbah Surip serta Boy.

Mbah Surip dan Jacko menjadi korban eksploitasi yang berlebihan hingga mereka merasa terlalu lelah untuk menjalani jadwal mereka. Mereka merupakan salah satu contoh bagaimana industri musik dan tuntutan penggemar membuat mereka harus “berakting” dalam kehidupan mereka. Mereka menambah daftar selebriti yang meninggal di tengah puncak popularitas seperti Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Tupac hingga John Lennon. Jangan mencari kambing hitam dari kejadian ini, karena semua pihak ikut terlibat baik dari label, penggemar bahkan hingga dari artis sendiri. Selama ini, kita sering mendengar bahwa banyak orang ingin menjadi artis karena mereka ingin terkenal. Sayangnya mereka hanya melihat permukaan saja. Mereka belum tahu bagaimana rasanya menjadi sapi perah yang harus bekerja siang malam untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai seorang selebritis. Jika dulu mereka membuat musik dan berkarya karena keinginan mereka, kini mereka bermusik karena tuntutan kontrak. Mereka dieksploitasi sampai mati.