Selasa, 16 Maret 2010

Susah Masuknya

Susah Masuknya

Sudah pada tahu tentang biaya masuk Universitas Indonesia yang baru? Sekarang ini BOP berkeadilan yang digunakan oleh UI untuk menerima mahasiswa baru (Maba) angkatan 2008 dan 2009 sudah tidak lagi digunakan. Sekarang yang digunakan adalah biaya masuk yang dipatok rata (flat) untuk semua maba. Jumlahnya cukup besar, dari 5 juta rupiah hingga 25 juta rupiah (16 juta untuk FE). Perubahan ini tentu saja membuat banyak pihak berteriak lantang, karena dirasa cukup mahal dan memberatkan. Kalo sudah begini, siapa yang mampu untuk kuliah di UI yang terkenal dengan sebutan “kampus rakyat”? Tentu saja, hanya orang-orang golongan menengah ke atas yang mampu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu atau biasa-biasa saja?

Golongan yang paling tekena dampaknya adalah golongan menengah seperti saya. Tidak terlalu tajir, tapi juga tidak terlalu susah. Tetapi bila diminta untuk membayar sebanyak itu tentu saja orang tua saya akan merasa keberatan. Selain itu bila saya diminta menyertakan surat tidak mampu, sepertinya agak tidak etis ya? Karena masih banyak yang lebih susah daripada saya. Serba salah. Untung saya sudah menjadi mahasiswa UI. Alhamdulillah. Apakah orang-orang yang bekerja di rektorat tidak memikirkan nasib anak-anak yang kurang mampu tersebut?

Satu semester bisa menghabiskan 5 juta rupiah. Wow, itu jumlah yang cukup besar. Mungkin ada dari kalian yang berkata, “Itu kan satu semester. Berarti sebulannya g sampe sejuta dong. Satu semester kan ada 6 bulan.” Ya, kalian cukup bodoh bila menjawab seperti itu, khususnya bila kalian sudah kuliah di UI. Bila kalian kuliah di UI, untuk semester ganjil kuliah dimulai pada bulan September dan selesai pada bulan Desember. Hanya 4 bulan. Berarti dalam sebulan, para orang tua harus menyisihkan 1,25 juta (5 juta : 4) untuk biaya kuliah. Belum lagi ditambah uang jajan, kita asumsikan setiap bulan mereka mendapat 750 ribu rupiah. Uang buku dan uang kos tidak kita hitung, kita anggap saja semuanya pulang-pergi. Sedangkan untuk buku, anggap saja mereka beruntung karena bisa meminjam dari perpustakaan sehingga tidak usah mengeluarkan buku dari perpustakaan. (walau tidak mungkin ya? Biar gampang aje....) Berarti dalam sebulan para orang tua mengeluarkan dana 2 juta rupiah (1,25 juta + 750 ribu). Itu hanya untuk kuliah anaknya.

Kalian tahu berapa GDP per kapita Indonesia? Kurang lebih U$ 2500 (berdasarkan jawaban dari salah satu asdos di FE, yaa kalau salah mohon dimaafkan ya. Tetapi bedanya pasti tidak terlalu jauh kok) atau Rp 25 juta (1 US$ = 10000). Itu dalam setahun. Berarti dalam sebulan, rata-rata orang Indonesia mempunyai penghasilan sebesar Rp 2.083.333.3 (Rp 25 jt : 12 bulan). Tadi berapa uang yang dihabiskan para orang tua untuk biaya kuliah anaknya perbulan? 2 juta rupiah. Bedanya tipis banget ya? Berarti secara kasarnya, rata-rata orang Indonesia tidak mampu untuk menyekolahkan anak mereka di UI.

Seandainya para perumus kebijakan memikirkan seperti ini, apakah mereka masih tega untuk mengenakan biaya setinggi ini? Okelah, mungkin logika mereka berpendapat bahwa setinggi apapun biaya kuliah di UI, tetap saja masih banyak orang yang mendaftar. Oleh karena itu mereka mengenakan biaya yang semakin tinggi. Kalau dalam bahasa ekonomi, kurva permintaannya bersifat inelastis (termasuk barang pokok, perubahan kuantitas permintaan lebih kecil daripada perubahan harga). Itu jika dihitung menggunakan logika. Apakah moral dan nurani mereka tidak turut menghitung?


Saya pernah membaca salah satu buku berjudul “To Kill a Mockingbird” Di dalam buku itu ada ucapan dari salah satu tokohnya yang paling saya ingat, bunyinya kurang lebih seperti ini,”Kita tidak akan tahu seperti apa seseorang, hingga kita yang berada di posisi orang tersebut.” Ya, saya cukup setuju dengan ucapan tersebut. Mungkin kita tidak akan pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang lain, hingga kita berada di posisi orang tersebut. Oleh karena itu, saya ingin mengkhayal. Seandainya ada campur tangan Tuhan disini, sehingga orang-orang di rektorat bermimpi buruk seperti ini: Para perumus kebijakan uang kuliah tersebut sekarang menjadi orang tua dari golongan menengah ke bawah (penghasilan sebulan kurang dari 7 juta rupiah) dari para siswa kelas 3 SMA yang ingin merajut mimpi dan melanjutkan kuliah di UI. Lalu mereka menyadari, betapa tingginya biaya untuk kuliah di UI. Kira-kira apa yang mereka rasakan? Saya yakin, mereka pasti gelisah dalam tidurnya, keringat dingin bercucuran, berguling kesana-kemari sambil berteriak, “Tidak!!!” lalu mereka jatuh dari tempat tidur dan terbangun. Lalu mereka berkata, “untung cuma mimpi....” dan menghela napas lega.

Lalu bila para perumus kebijakan tersebut masih punya nurani, mereka akan berjalan dengan mantap menuju rektorat dan menghadap pimpinan mereka, beberapa saat kemudian mereka menyuarakan isi hati mereka bahwa biaya kuliah du UI sekarang ini mencekik leher untuk kebanyakan orang Indonesia. Lalu sang pimpinan tersadar, bahwa perpustakaan mewah yang dibangunnya ini bukanlah prioritas. Lebih baik membenahi perpustakaan masing-masing fakultas dan menyediakan dana untuk penelitian. Kualitas lebih penting daripada sekedar kesan. Sambil tersenyum lembut ia pun setuju, dan akhirnya Surat Keputusan yang baru terbit. Biaya masuk UI dibuat seadil mungkin, yang tidak mampu membayar murah dan yang mampu membayar lebih. Cita-cita sang pemimpin berubah, dari sekedar ingin membuat UI menjadi World Class University menjadi lebih sederhana. Ia hanya ingin agar semua anak Indonesia bisa memperoleh pendidikan di universitas terbaik seIndonesia dengan murah. Bahasa sederhanya, mencerdaskan bangsa, tetapi tidak memeras bangsa. Tentu saja, ini hanya impian dan harapan saja. Kenyataannya? Saya tidak tahu.

Tetapi ini bukan mimpi Bung!!! Ada banyak orang tua di luar sana yang merasa ketar-ketir ketika tahu betapa mahalnya kuliah di UI. Mereka tidak bermimpi dan mereka tidak berdaya. Di satu sisi, setiap melihat anak mereka belajar dengan giatnya untuk SIMAK UI, tentu saja mereka mendoakan agar anaknya lulus, dan doa orang tua merupakan doa yang sangat manjur. Saya jamin itu. Tetapi disisi lain, mereka bingung, apa yang harus mereka lakukan agar mereka bisa membayar biaya kuliah yang begitu tinggi tersebut. Apaka orang-orang di rektorat harus mempunyai anak kelas 3 SMA atau mimpi buruk dahulu baru mereka menyadari betapa menderitanya para orang tua golongan menengah ke bawah di bangsa ini?