Rabu, 27 Oktober 2010

Setelahnya

Turun kasta
Ditinggal sendiri oleh bidadari
Dicabutnya paku ini
Tanpa ada yang mengganti

Berongga tak berisi
Hanya dipenuhi angan dan sesal belaka

Menampar diri
Serta mengadah ke atas
Mencari yang tersisa
Walau tak ada artinya

Rabu, 05 Mei 2010

Kita Hanya Bisa Mendapatkan Apa yang Telah Kita Lihat

Kita Hanya Bisa Mendapatkan Apa yang Telah Kita Lihat

Pagi itu perut saya keroncongan. Benar, keroncongan hingga perut saya terasa melilit dan mengencang. Sungguh kelaparan. Hal itu diakibatkan karena saya tidak sempat sarapan. Saya tidak sempat sarapan karena saya bangun kesiangan, sekitar pukul 8 pagi, padahal saya harus mengajar di BTA pukul 9 pagi. Apa boleh buat, maka saya pun terpaksa mempersingkat aktivitas pagi saya dengan mengorbankan sarapan. Ternyata hasilnya sungguh ironi. Saya sampai di BTA sebelum pukul 9 pagi. Setelah beberapa saat menunggu, ternyata murid-murid saya tidak ada yang datang. Maka pagi itu sesi pertama dibatalkan. Ironi bukan?

Setelah kelas resmi dibatalkan kira-kira setengah jam setelahnya, dengan perut yang kelaparan dan emosi yang sedikit menggumpal, maka saya pun melangkah keluar dari BTA. Niat saya hanya satu, yaitu mencari sarapan. Jantung saya mulai berdegup semakin kencang, pertanda bahwa otak dan perut sudah tidak bisa dibohongi lagi. Segala trik yang saya gunakan untuk mengecoh otak dan perut saya sudah tidak efektif lagi. Organ tubuh saya harus menyerah pada kenyataan yang menyedihkan, yaitu saya kelaparan. Sangat kelaparan. Maka saya pun mulai kalap dan mata saya menjadi gelap. Pikiran saya fokus untuk segera mencari makanan secepat-cepatnya. Tidak ada hal lain yang lebih mendesak daripada urusan perut di kondisi seperti itu bagi saya. Berarti saat itu saya mempunyai satu masalah, yaitu saya sedang kelaparan. Maka saya mencari sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah saya tersebut.

Karena rasa lapar yang teramat sangat, maka setelah kedua kaki saya keluar dari BTA pandangan saya langsung tertuju kepada sebuah gerobak yang disandarkan. Ternyata itu Gerobak Ketoprak. Maka tanpa berpikir panjang lagi gerobak itu langsung saya hampiri dan saya pun memesan sepiring ketoprak. Saat saya menunggu pesanan, hati saya mulai lega karena saya tahu beberapa menit lagi rasa lapar ini akan segera hilang. Jantung saya mulai berdetak kembali normal. Saya pun merasa bahwa say asudah menemukan solusi untuk mengatasi masalah saya tersebut. Saya pun mulai bisa berpikir dengan normal dan tenang kembali. Maka saya pun mulai rileks dan mulai mengamati keadaan sekitar. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata beberap meter dari gerobak ketoprak ada yang menjual Nasi Pecel. Sekedar informasi, saya lebih menyukai Nasi Pecel daripada sepiring ketoprak-yang-rasanya-standar-dan-sama-di-semua-tempat. Saya menyesal, sungguh menyesal. Seandainya saya tadi sedikit lebih tenang dan mau bersabar untuk mengobservasi lingkungan sekitar terlebih dahulu, maka saya akan sarapan pagi dengan Nasi Pecel, bukan dengan ketoprak. Tetapi sudah terlambat, saya sudah memesan ketoprak dan pesanan saya sedang dibuat. Saya harus bertanggung jawab kepada penjual ketoprak.

Mungkin beberapa dari kalian pernah mengalami hal seperti saya. Rasa lapar yang teramat-sangat (rasa lapar ini tidak terbatas kepada rasa lapar terhadap makanan saja,bisa juga lapar terhadap hal lain, seperti minuman, yang biasa disebut haus tetapi mempunyai arti yang sama hanya berbeda objeknya, lapar terhadap kesenangan, hingga lapar terhadap cinta) kadang membuat gelap mata dan mempersempit pandangan kita. Akibat rasa lapar itu maka kita tidak mampu berpikir dengan logis, sehingga kita pun dikendalikan oleh rasa lapar yang menjadi nafsu yang membabi buta. Oleh karena itu, apabila kita sedang dibutakan oleh rasa lapar seperti itu maka kita condong untuk mengambil suatu solusi yang tersedia di depan mata kita. Atau alternatif yang pertama kali terlihat oleh kita. Padahal kadang solusi tersebut bukanlah pilihan yang terbaik, masih banyak pilihan lain yang lebih baik untuk kita. Tetapi apa boleh buat, mata kita dibutakan dan kita seperti memakai kacamata kuda, sehingga pandangan kita menyempit dan kita tidak mampu berpikir dengan logis. Sehingga kita langsung mengambil pilihan yang petama kali terlihat oleh kita dan kita tidak sadar, bahwa di luar sana masih ada beberapa pilihan dan solusi yang mungkin lebih baik dari yang telah kita ambil.

Seandainya saja kita mau lebih bersabar dalam menghadapi situasi seperti ini, maka ada kemungkinan kita bisa menikmati hasil yang lebih baik. Dengan tetap berpikir tenang di saat kondisi yang sedang sulit, maka kita akan bisa melihat dengan pandangan yang lebih luas. Hal itu akan membuat kita menyadari bahwa ada beberapa pilihaan dan solusi yang tersedia. Dengan begitu maka kita bisa menimbang dan mencoba menganalisa costs and benefits dari semua alternatif yang tersedia. Setelah berpikir masak-masak maka kita akan tahu pilihan dan solusi apa yang terbaik untuk kita.

Hal itu bisa terjadi dalam berbagai segi kehidupan di dunia nyata, baik tentang pertemanan, kuliah, pekerjaan hingga asmara. Kita semua pasti pernah menghadapi suatu masalah. Bagaimana cara kita memecahkan masalah tersebut? Apakah kita langsung setuju dan mengambil setiap solusi yang pertama kali terlintas di pkiran dan terlihat oleh kita? Ataukah kita bersabar dan berpikir dengan kepala dingin serta mencoba menganalisa apa solusi yang terbaik untuk kita? Saya akan mencoba memberi suatu contoh yang saya rasa cukup relevan dengan kasus seperti ini.

Ada seorang pria yang sudah lama tidak mempunyai hubungan asmara dengan wanita. Padahal pria itu sudah cukup berumur. Ia bahkan cukup depresi dengan keadaannya. Ia merasa minder dan rendah diri jika dibandingkan dengan teman-temannya. Padahal teman-temanya tidak ada yang pernah menyindir dia mengenai keadaannya, hal itu timbul karena prasangka buruk dari diri pria itu sendiri. Oleh karena itu ia bertekad untuk secepat mungkin mempunyai kekasih agar tidak lagi merasa minder. Karena ia sudah cukup depresi, maka ia terpaksa menurunkan ”standar penilaiannya” terhadap wanita. Ia tidak lagi berpikir panjang. Suatu hari ia berkenalan dengan seorang wanita. Tidak lama kemudia ia merasa bahwa hubungannya dengan wanita tersebut berjalan cukup lancar, maka ia pun langsung menyatakan cintanya kepada wanita tersebut. Ternyata wanita itu menerima cinta pria tersebut. Beruntungkah pria tersebut? Ternyata wanita tersebut mempunyai suatu kebiasaan buruk. Wanita tersebut tidak bisa setia terhadap pasangannya, bahkan wanita tersebut juga matre. Dengan begitu si pria itu menjadi semakin terjerembab dalam kesedihan. Maksud hati ingin segera mempunyai kekasih dan merasakan manisnya cinta, tetapi karena ia terburu-buru dan bersikap ”asal tembak” maka ia justru merasakan pahitnya cinta itu sendiri.

Dari siti kita bisa melihat bahwa karena terlalu tergesa-gesa dalam menyelesaikan suatu masalah (dalam kasus ini masalahnya adalah sudah lama tidak mempunyai kekasih) dapat mempunyai dampak yang buruk. Karena terbutu-buri pria itu tidak sempat menganalisa cost and benefit dari solusi yang tersedia (wanita tidak setia dan matre tersebut). Dengan begitu solusi yang tersedia ternyata justru tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. Seandainya ia bisa bersikap sabar dan tetap bersikap dan berpikir positif, maka ia akan melihat bahwa masih banyak wanita di luar sana yang mendambakan seorang kekasih yang baik hati. Dengan selalu bersikap positif, terutama kepada orang lain maka ia akan dikenal sebagai seseorang yang berhati mulia. Hal itu akan menyebabkan ia lebih ”bernilai” di mata wanita karena ia selalu bersikap positif (mungkin baik hati dan tulus kepada semua orang). Maka ia akan mempunyai lebih banyak lagi solusi (wanita yang bisa dipilih untuk dijadikan kekasih). Kita semua tahu, pria yang berhati baik dan tulus mempunyai nilai lebih di mata para wanita, sayang pria seperti itu sangatlah jarang. Tetapi sayang, matanya dibutakan oleh emosi dan nafsu. Ia mencari kekasih dengan terburu-buru bukan karena ia mencintai wanita tersebut, tetapi karena ia tidak ingin merasa minder. Dengan begitu ia tidak menyadari bahwa ada masih banyak solusi yang tersedia jika ia mau membuka matanya (solusi dalam kasus ini berarti wanita yang mendambakan kekasih yang berhati baik dan tulus).

Ternyata emosi dan nafsu bisa mengalahkan logika. Apabila kita sedang menghadapi suatu masalah, maka jangan sampai kita dibimbing oleh emosi dan nafsu. Hal itu dikarenakan solusi yang ditawarkan oleh emosi dan nafsu kadang justru tidak menyelesaikan masalah. Baiklah, mungkin ada beberapa solusi yang cukup baik, tetapi kita semua tahu bahwa kemungkinan seperti itu sangatlah kecil. Kita diberi akal dan pikiran oleh Tuhan agar kita mampu berpikir, termasuk berpikir di saat kondisi yang sedang sulit. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika menggunakan akal dan pikiran kita untuk menghadapi suatu masalah, bukan dengan emosi dan nafsu. Karena dengan emosi dan nafsu maka mata kita akan menjadi gelap, sehingga kita hanya bisa melihat solusi. Itupun sudah cukup beruntung, karena kita masih bisa menemukan solusi, kadang dengan emosi dan nafsu kita justru tidak menemukan solusi. Selain itu dengna emosi dan nafsu kita akan terburu-buru. Kita tidak sempat berpikir, sehingga kita langsung setuju kepada solusi yang pertama kali terlihat oleh kita.

We only see what we want to see, therefore we only get what we have seen (saya mendapatkan kalimat ini dari pacar saya, karena ketrampilan saya dalam berbahasa Inggris cukup terbatas). Idiom itu mungkin berlaku jika kita menggunakan emosi dan nafsu sebagai pembimbing. Kita hanya bisa melihat apa yang kita ingin lihat, dengan begitu maka kita hanya bisa mendapatkan apa yang telah kita lihat. Bagaimana mungkin kita bisa memiliki sesuatu jika kita tidak pernah menyadari bahwa sesuatu itu ada?

Selasa, 16 Maret 2010

Susah Masuknya

Susah Masuknya

Sudah pada tahu tentang biaya masuk Universitas Indonesia yang baru? Sekarang ini BOP berkeadilan yang digunakan oleh UI untuk menerima mahasiswa baru (Maba) angkatan 2008 dan 2009 sudah tidak lagi digunakan. Sekarang yang digunakan adalah biaya masuk yang dipatok rata (flat) untuk semua maba. Jumlahnya cukup besar, dari 5 juta rupiah hingga 25 juta rupiah (16 juta untuk FE). Perubahan ini tentu saja membuat banyak pihak berteriak lantang, karena dirasa cukup mahal dan memberatkan. Kalo sudah begini, siapa yang mampu untuk kuliah di UI yang terkenal dengan sebutan “kampus rakyat”? Tentu saja, hanya orang-orang golongan menengah ke atas yang mampu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu atau biasa-biasa saja?

Golongan yang paling tekena dampaknya adalah golongan menengah seperti saya. Tidak terlalu tajir, tapi juga tidak terlalu susah. Tetapi bila diminta untuk membayar sebanyak itu tentu saja orang tua saya akan merasa keberatan. Selain itu bila saya diminta menyertakan surat tidak mampu, sepertinya agak tidak etis ya? Karena masih banyak yang lebih susah daripada saya. Serba salah. Untung saya sudah menjadi mahasiswa UI. Alhamdulillah. Apakah orang-orang yang bekerja di rektorat tidak memikirkan nasib anak-anak yang kurang mampu tersebut?

Satu semester bisa menghabiskan 5 juta rupiah. Wow, itu jumlah yang cukup besar. Mungkin ada dari kalian yang berkata, “Itu kan satu semester. Berarti sebulannya g sampe sejuta dong. Satu semester kan ada 6 bulan.” Ya, kalian cukup bodoh bila menjawab seperti itu, khususnya bila kalian sudah kuliah di UI. Bila kalian kuliah di UI, untuk semester ganjil kuliah dimulai pada bulan September dan selesai pada bulan Desember. Hanya 4 bulan. Berarti dalam sebulan, para orang tua harus menyisihkan 1,25 juta (5 juta : 4) untuk biaya kuliah. Belum lagi ditambah uang jajan, kita asumsikan setiap bulan mereka mendapat 750 ribu rupiah. Uang buku dan uang kos tidak kita hitung, kita anggap saja semuanya pulang-pergi. Sedangkan untuk buku, anggap saja mereka beruntung karena bisa meminjam dari perpustakaan sehingga tidak usah mengeluarkan buku dari perpustakaan. (walau tidak mungkin ya? Biar gampang aje....) Berarti dalam sebulan para orang tua mengeluarkan dana 2 juta rupiah (1,25 juta + 750 ribu). Itu hanya untuk kuliah anaknya.

Kalian tahu berapa GDP per kapita Indonesia? Kurang lebih U$ 2500 (berdasarkan jawaban dari salah satu asdos di FE, yaa kalau salah mohon dimaafkan ya. Tetapi bedanya pasti tidak terlalu jauh kok) atau Rp 25 juta (1 US$ = 10000). Itu dalam setahun. Berarti dalam sebulan, rata-rata orang Indonesia mempunyai penghasilan sebesar Rp 2.083.333.3 (Rp 25 jt : 12 bulan). Tadi berapa uang yang dihabiskan para orang tua untuk biaya kuliah anaknya perbulan? 2 juta rupiah. Bedanya tipis banget ya? Berarti secara kasarnya, rata-rata orang Indonesia tidak mampu untuk menyekolahkan anak mereka di UI.

Seandainya para perumus kebijakan memikirkan seperti ini, apakah mereka masih tega untuk mengenakan biaya setinggi ini? Okelah, mungkin logika mereka berpendapat bahwa setinggi apapun biaya kuliah di UI, tetap saja masih banyak orang yang mendaftar. Oleh karena itu mereka mengenakan biaya yang semakin tinggi. Kalau dalam bahasa ekonomi, kurva permintaannya bersifat inelastis (termasuk barang pokok, perubahan kuantitas permintaan lebih kecil daripada perubahan harga). Itu jika dihitung menggunakan logika. Apakah moral dan nurani mereka tidak turut menghitung?


Saya pernah membaca salah satu buku berjudul “To Kill a Mockingbird” Di dalam buku itu ada ucapan dari salah satu tokohnya yang paling saya ingat, bunyinya kurang lebih seperti ini,”Kita tidak akan tahu seperti apa seseorang, hingga kita yang berada di posisi orang tersebut.” Ya, saya cukup setuju dengan ucapan tersebut. Mungkin kita tidak akan pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang lain, hingga kita berada di posisi orang tersebut. Oleh karena itu, saya ingin mengkhayal. Seandainya ada campur tangan Tuhan disini, sehingga orang-orang di rektorat bermimpi buruk seperti ini: Para perumus kebijakan uang kuliah tersebut sekarang menjadi orang tua dari golongan menengah ke bawah (penghasilan sebulan kurang dari 7 juta rupiah) dari para siswa kelas 3 SMA yang ingin merajut mimpi dan melanjutkan kuliah di UI. Lalu mereka menyadari, betapa tingginya biaya untuk kuliah di UI. Kira-kira apa yang mereka rasakan? Saya yakin, mereka pasti gelisah dalam tidurnya, keringat dingin bercucuran, berguling kesana-kemari sambil berteriak, “Tidak!!!” lalu mereka jatuh dari tempat tidur dan terbangun. Lalu mereka berkata, “untung cuma mimpi....” dan menghela napas lega.

Lalu bila para perumus kebijakan tersebut masih punya nurani, mereka akan berjalan dengan mantap menuju rektorat dan menghadap pimpinan mereka, beberapa saat kemudian mereka menyuarakan isi hati mereka bahwa biaya kuliah du UI sekarang ini mencekik leher untuk kebanyakan orang Indonesia. Lalu sang pimpinan tersadar, bahwa perpustakaan mewah yang dibangunnya ini bukanlah prioritas. Lebih baik membenahi perpustakaan masing-masing fakultas dan menyediakan dana untuk penelitian. Kualitas lebih penting daripada sekedar kesan. Sambil tersenyum lembut ia pun setuju, dan akhirnya Surat Keputusan yang baru terbit. Biaya masuk UI dibuat seadil mungkin, yang tidak mampu membayar murah dan yang mampu membayar lebih. Cita-cita sang pemimpin berubah, dari sekedar ingin membuat UI menjadi World Class University menjadi lebih sederhana. Ia hanya ingin agar semua anak Indonesia bisa memperoleh pendidikan di universitas terbaik seIndonesia dengan murah. Bahasa sederhanya, mencerdaskan bangsa, tetapi tidak memeras bangsa. Tentu saja, ini hanya impian dan harapan saja. Kenyataannya? Saya tidak tahu.

Tetapi ini bukan mimpi Bung!!! Ada banyak orang tua di luar sana yang merasa ketar-ketir ketika tahu betapa mahalnya kuliah di UI. Mereka tidak bermimpi dan mereka tidak berdaya. Di satu sisi, setiap melihat anak mereka belajar dengan giatnya untuk SIMAK UI, tentu saja mereka mendoakan agar anaknya lulus, dan doa orang tua merupakan doa yang sangat manjur. Saya jamin itu. Tetapi disisi lain, mereka bingung, apa yang harus mereka lakukan agar mereka bisa membayar biaya kuliah yang begitu tinggi tersebut. Apaka orang-orang di rektorat harus mempunyai anak kelas 3 SMA atau mimpi buruk dahulu baru mereka menyadari betapa menderitanya para orang tua golongan menengah ke bawah di bangsa ini?

Rabu, 10 Februari 2010

Bagus vs Berpengaruh

Bagus vs Berpengaruh

Pada suatu sore, selepas bermain bola di Pertamina Hall FE saya bersama beberapa teman saya menuju Kober untuk makan sore, karena kami semua merasa kelaparan. Setelah berdiskusi beberapa waktu maka pilihan kami jatuh kepada Warung Ayam Penyet di Kober. Untuk sekedar tambahan informasi, Ayam Penyet di tempat itu sangatlah nikmat, terutama bagi para penggemar pedas karena rasa pedasnya yang dominan. Saat sedang asyik menikmati hidangan tiba-tiba perhatian kami tertuju pada televisi yang dipasang di warung tersebut. Televisi itu menayangkan acara di salah satu stasiun televisi swasta yang membahas “7 Film Berpengaruh di Indonesia”. Beberapa teman saya berkata bahwa “Pintu Terlarang” yang disutradarai oleh Joko Anwar pasti masuk karena kualitasnya yang sangat bagus jika dibandingkan film-film Indonesia lainnya, jika tidak maka hal itu merupakan suatu hal yang sungguh aneh karena menurut teman-teman saya yang ahli dalam perfilman, film dari Joko Anwar tersebut mampu mendobrak dunia sineas Indonesia. Saya hanya mengangguk-angguk saja sambil menghabiskan hidangan saya.

Ternyata setelah ketujuh film dibahas, Pintu Terlarang tidak masuk dalam kategori tersebut. Tentu saja teman-teman saya tadi merasa kecewa, bahkan cenderung menyalahkan bagaimana kriteria pemilihannya. Lagi-lagi saya hanya diam saja, mencoba memikirkan mengapa hal itu bisa terjadi. Setelah beberapa hari saya berpikir, akhirnya saya menemukan jawabannya. Jawabannya sebenarnya sederhana saja, jika kita mengetahui dengan pasti apa perbedaan definisi antara bagus dan berpengaruh.
Menurut saya, bagus belum tentu sama dengan berpengaruh. Suatu hal yang bagus belum tentu berpengaruh dan suatu hal yang berpengaruh belum tentu bagus. Masih bingung dengan pernyataan di atas? Marilah kita telaah sejenak dengan mengambil contoh yang mudah di dunia perkuliahan. Misalnya ada seorang anak yang berkualitas bagus, terutama dari segi kepintarannya. Setiap semester Ipnya (Indeks Prestasi) pasti cum-laude (definisi cum-laude berarti Ipnya di atas 3,5 dari skala 4). Berarti sudah jelas bahwa anak itu termasuk “bagus”. Hal yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah anak itu juga berpengaruh? Jawabannya adalah belum tentu. Salah satu alasannya disebabkan bagaimana sikap anak itu sendiri.

Sudah jelas bahwa anak itu bagus, tetapi ia belum tentu berpengaruh. Mengapa ia bisa tidak berpengaruh? Seperti yang sudah saya beritahu di atas, ia tidak berpengaruh karena sikapnya sendiri. Implikasinya begini, kita tahu bahwa hampir setiap semester ipnya cum-laude, tetapi karena ia selalu belajar seorang diri dan tidak pernah mau membagi ilmunya dengan mahasiswa lain, maka tidak ada teman-temannya yang mendapat manfaat dari kepintarannya tersebut. Sehingga walaupun ia mempunyai kualitas yang bagus, tetapi sudah jelas ia tidak berpengaruh.

Akan sangat berbeda jika mahasiswa yang pintar tersebut selalu ikut belajar bersama dan senang untuk mengajari teman-temannya menjelang ujian. Hal itu akan menyebabkan teman-temannya mendapat manfaat dari kualitasnya tersebut, sehingga nilai-nilai temannya juga ikut meningkat. Maka sudah jelas bahwa ia akan sangat berpengaruh, karena selain kualitasnya yang bagus ia juga “membuka diri” terhadap mahasiswa lain.
Dari contoh di atas kita bisa melihat bagaimana perilaku seseorang dapat lebih signifikan dalam menentukan berpengaruh atau tidak dirinya terhadap orang lain dibandingkan kualitas. Berarti kita bisa mengambil kesimpulan bahwa berpengaruhnya sesuatu hal ditentukan oleh 2 hal, yaitu kualitas dan sikap terbuka.

Mungkin impikasinya terhadap Pintu Terlarang cukup sederhana. Jika kita setuju bahwa sikap terbukanya seseorang dapat menentukan sejauh mana orang tersebut bisa berpengaruh maka mungkin Pintu Terlarang tidak cukup berpengaruh karena ia kurang “membuka diri’. Yang dimaksud dengan kurang membuka diri disini ialah bagaiamna publikasi dari Pintu Terlarang dirasa kurang berhasil. Publikasinya bisa kurang berhasil karena promosinya yang kurang gencar dan mungkin kalah bersaing dari film lain dalam segi promosi. Berdasarkan contoh di atas maka saya berpendapat bahwa kualitas dan sikap terbuka dari seseorang dapat menentukani apakah seseorang bisa berpengaruh atau tidak. Atau dengan kata lain seseorang bisa berpengaruh jika ia berkualitas dan mempunyai sikap terbuka, tetapi dengan mengambil contoh dari mahasiwa tadi maka kita tahu bahwa sikap terbuka bisa lebih menentukan dari kualitas.
Ternyata ada faktor lain yang turut menentukan apakah seseorang bisa berpengaruh atau tidak, yaitu bagaimana kualitas, tingkah laku dan pola pikir masyarakan di sekitar. Faktor ini saya rasa lebih berpengaruh dari kedua hal yang sudah saya jelaskan tadi (kualitas dan sikap terbuka). Apakah kalian semua percaya, bahwa sebagus apapun kualitas dan begitu terbukanya seseorang bisa tidak berarti jika kualitas dan tingkah laku masyarakat tidak cocok.

Saya akan memberi contoh Socrates. Kita tahu bahwa Socrates mempunyai kualitas yang bagus. Ia termasuk salah satu manusia paling berkualitas dalam zamannya, selain itu ia juga cukup membuka diri. Ia sering menyampaikan kritik-kritik terhadap pemerintah dan tingkah laku masyarakat sekitar. Tetapi apakah ia berpengaruh? Ternyata tidak. Karena tingkah laku dan pola pikir masyarakat tidak mampu untuk mengimbangi kualitas dari Socrates itu sendiri. Hal itu menyebabkan beberapa orang menganggap bahwa Socrates terlalu banyak omong dan dapat mengganggu stabilitas, sehingga pada akhirnya dihukum mati. Ternyata masyarakat juga harus mampu mengimbangi kualitas dari orang tersebut.

Hal ini mngkin dapat menjelaskan mengapa Pintu Terlarang kurang berpengaruh. Karena kualitas dan pola pikir masyarakat Indonesia sendiri yang belum siap dengan film sejenis ini. Walaupun Pintu Terlarang mempunyai kualitas yang begitu bagus (telah diakui di beberapa festifal film internasional), tetapi karena kualitas, tingkah laku, dan pola pikir masyarakat Indonesia belum bisa mengimbangi maka film ini tidak terlalu berpengaruh. Kualitas, tingkah laku, dan pola pikir masyarakat Indonesia masih bersifat homogen sehingga biasanya kurang cocok untuk menerima sesuatu yang “berbeda”.

Setelah mencoba menganalisa, maka kita menemukan bagaiman suatu hal bisa berpengaruh. Dari faktor internal, suatu hal bisa berpengaruh jika hal tersebut berkualitas dan mempunyai sikap terbuka yang cukup sehingga orang lain bisa merasakan manfaat dari kualitas hal tersebut. Oleh karena itulah hal tersebut bisa berpengaruh. Selain itu juga ada faktor eksternal yang mempengaruhi, yaitu bagaimana kualitas, tingkah laku dan pola pikir dari masyrakat sekitar. Jika masyarakt masih belum siap dengan kualitas hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh. Berbeda apabila masyarakat telah siap, maka hal itu akan sangat berpengaruh. Saran saya, jika kita mempunyai kualitas yang dirasa dapat memberikan manfaat untuk orang lain, maka akan sangat baik jika kita bersikap terbuka sehingga orang lain juga dapat mendapatkan manfaat dari kualitas kita. Atau dalam bahasa ekonomi, eksternalitas positif. Kita ini makhluk sosial kawan, janganlah dipendam potensi-potensi yang ada dalam diri kita. Bagikanlah kepada orang lain.