Turun kasta
Ditinggal sendiri oleh bidadari
Dicabutnya paku ini
Tanpa ada yang mengganti
Berongga tak berisi
Hanya dipenuhi angan dan sesal belaka
Menampar diri
Serta mengadah ke atas
Mencari yang tersisa
Walau tak ada artinya
Rabu, 27 Oktober 2010
Rabu, 05 Mei 2010
Kita Hanya Bisa Mendapatkan Apa yang Telah Kita Lihat
Kita Hanya Bisa Mendapatkan Apa yang Telah Kita Lihat
Pagi itu perut saya keroncongan. Benar, keroncongan hingga perut saya terasa melilit dan mengencang. Sungguh kelaparan. Hal itu diakibatkan karena saya tidak sempat sarapan. Saya tidak sempat sarapan karena saya bangun kesiangan, sekitar pukul 8 pagi, padahal saya harus mengajar di BTA pukul 9 pagi. Apa boleh buat, maka saya pun terpaksa mempersingkat aktivitas pagi saya dengan mengorbankan sarapan. Ternyata hasilnya sungguh ironi. Saya sampai di BTA sebelum pukul 9 pagi. Setelah beberapa saat menunggu, ternyata murid-murid saya tidak ada yang datang. Maka pagi itu sesi pertama dibatalkan. Ironi bukan?
Setelah kelas resmi dibatalkan kira-kira setengah jam setelahnya, dengan perut yang kelaparan dan emosi yang sedikit menggumpal, maka saya pun melangkah keluar dari BTA. Niat saya hanya satu, yaitu mencari sarapan. Jantung saya mulai berdegup semakin kencang, pertanda bahwa otak dan perut sudah tidak bisa dibohongi lagi. Segala trik yang saya gunakan untuk mengecoh otak dan perut saya sudah tidak efektif lagi. Organ tubuh saya harus menyerah pada kenyataan yang menyedihkan, yaitu saya kelaparan. Sangat kelaparan. Maka saya pun mulai kalap dan mata saya menjadi gelap. Pikiran saya fokus untuk segera mencari makanan secepat-cepatnya. Tidak ada hal lain yang lebih mendesak daripada urusan perut di kondisi seperti itu bagi saya. Berarti saat itu saya mempunyai satu masalah, yaitu saya sedang kelaparan. Maka saya mencari sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah saya tersebut.
Karena rasa lapar yang teramat sangat, maka setelah kedua kaki saya keluar dari BTA pandangan saya langsung tertuju kepada sebuah gerobak yang disandarkan. Ternyata itu Gerobak Ketoprak. Maka tanpa berpikir panjang lagi gerobak itu langsung saya hampiri dan saya pun memesan sepiring ketoprak. Saat saya menunggu pesanan, hati saya mulai lega karena saya tahu beberapa menit lagi rasa lapar ini akan segera hilang. Jantung saya mulai berdetak kembali normal. Saya pun merasa bahwa say asudah menemukan solusi untuk mengatasi masalah saya tersebut. Saya pun mulai bisa berpikir dengan normal dan tenang kembali. Maka saya pun mulai rileks dan mulai mengamati keadaan sekitar. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata beberap meter dari gerobak ketoprak ada yang menjual Nasi Pecel. Sekedar informasi, saya lebih menyukai Nasi Pecel daripada sepiring ketoprak-yang-rasanya-standar-dan-sama-di-semua-tempat. Saya menyesal, sungguh menyesal. Seandainya saya tadi sedikit lebih tenang dan mau bersabar untuk mengobservasi lingkungan sekitar terlebih dahulu, maka saya akan sarapan pagi dengan Nasi Pecel, bukan dengan ketoprak. Tetapi sudah terlambat, saya sudah memesan ketoprak dan pesanan saya sedang dibuat. Saya harus bertanggung jawab kepada penjual ketoprak.
Mungkin beberapa dari kalian pernah mengalami hal seperti saya. Rasa lapar yang teramat-sangat (rasa lapar ini tidak terbatas kepada rasa lapar terhadap makanan saja,bisa juga lapar terhadap hal lain, seperti minuman, yang biasa disebut haus tetapi mempunyai arti yang sama hanya berbeda objeknya, lapar terhadap kesenangan, hingga lapar terhadap cinta) kadang membuat gelap mata dan mempersempit pandangan kita. Akibat rasa lapar itu maka kita tidak mampu berpikir dengan logis, sehingga kita pun dikendalikan oleh rasa lapar yang menjadi nafsu yang membabi buta. Oleh karena itu, apabila kita sedang dibutakan oleh rasa lapar seperti itu maka kita condong untuk mengambil suatu solusi yang tersedia di depan mata kita. Atau alternatif yang pertama kali terlihat oleh kita. Padahal kadang solusi tersebut bukanlah pilihan yang terbaik, masih banyak pilihan lain yang lebih baik untuk kita. Tetapi apa boleh buat, mata kita dibutakan dan kita seperti memakai kacamata kuda, sehingga pandangan kita menyempit dan kita tidak mampu berpikir dengan logis. Sehingga kita langsung mengambil pilihan yang petama kali terlihat oleh kita dan kita tidak sadar, bahwa di luar sana masih ada beberapa pilihan dan solusi yang mungkin lebih baik dari yang telah kita ambil.
Seandainya saja kita mau lebih bersabar dalam menghadapi situasi seperti ini, maka ada kemungkinan kita bisa menikmati hasil yang lebih baik. Dengan tetap berpikir tenang di saat kondisi yang sedang sulit, maka kita akan bisa melihat dengan pandangan yang lebih luas. Hal itu akan membuat kita menyadari bahwa ada beberapa pilihaan dan solusi yang tersedia. Dengan begitu maka kita bisa menimbang dan mencoba menganalisa costs and benefits dari semua alternatif yang tersedia. Setelah berpikir masak-masak maka kita akan tahu pilihan dan solusi apa yang terbaik untuk kita.
Hal itu bisa terjadi dalam berbagai segi kehidupan di dunia nyata, baik tentang pertemanan, kuliah, pekerjaan hingga asmara. Kita semua pasti pernah menghadapi suatu masalah. Bagaimana cara kita memecahkan masalah tersebut? Apakah kita langsung setuju dan mengambil setiap solusi yang pertama kali terlintas di pkiran dan terlihat oleh kita? Ataukah kita bersabar dan berpikir dengan kepala dingin serta mencoba menganalisa apa solusi yang terbaik untuk kita? Saya akan mencoba memberi suatu contoh yang saya rasa cukup relevan dengan kasus seperti ini.
Ada seorang pria yang sudah lama tidak mempunyai hubungan asmara dengan wanita. Padahal pria itu sudah cukup berumur. Ia bahkan cukup depresi dengan keadaannya. Ia merasa minder dan rendah diri jika dibandingkan dengan teman-temannya. Padahal teman-temanya tidak ada yang pernah menyindir dia mengenai keadaannya, hal itu timbul karena prasangka buruk dari diri pria itu sendiri. Oleh karena itu ia bertekad untuk secepat mungkin mempunyai kekasih agar tidak lagi merasa minder. Karena ia sudah cukup depresi, maka ia terpaksa menurunkan ”standar penilaiannya” terhadap wanita. Ia tidak lagi berpikir panjang. Suatu hari ia berkenalan dengan seorang wanita. Tidak lama kemudia ia merasa bahwa hubungannya dengan wanita tersebut berjalan cukup lancar, maka ia pun langsung menyatakan cintanya kepada wanita tersebut. Ternyata wanita itu menerima cinta pria tersebut. Beruntungkah pria tersebut? Ternyata wanita tersebut mempunyai suatu kebiasaan buruk. Wanita tersebut tidak bisa setia terhadap pasangannya, bahkan wanita tersebut juga matre. Dengan begitu si pria itu menjadi semakin terjerembab dalam kesedihan. Maksud hati ingin segera mempunyai kekasih dan merasakan manisnya cinta, tetapi karena ia terburu-buru dan bersikap ”asal tembak” maka ia justru merasakan pahitnya cinta itu sendiri.
Dari siti kita bisa melihat bahwa karena terlalu tergesa-gesa dalam menyelesaikan suatu masalah (dalam kasus ini masalahnya adalah sudah lama tidak mempunyai kekasih) dapat mempunyai dampak yang buruk. Karena terbutu-buri pria itu tidak sempat menganalisa cost and benefit dari solusi yang tersedia (wanita tidak setia dan matre tersebut). Dengan begitu solusi yang tersedia ternyata justru tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. Seandainya ia bisa bersikap sabar dan tetap bersikap dan berpikir positif, maka ia akan melihat bahwa masih banyak wanita di luar sana yang mendambakan seorang kekasih yang baik hati. Dengan selalu bersikap positif, terutama kepada orang lain maka ia akan dikenal sebagai seseorang yang berhati mulia. Hal itu akan menyebabkan ia lebih ”bernilai” di mata wanita karena ia selalu bersikap positif (mungkin baik hati dan tulus kepada semua orang). Maka ia akan mempunyai lebih banyak lagi solusi (wanita yang bisa dipilih untuk dijadikan kekasih). Kita semua tahu, pria yang berhati baik dan tulus mempunyai nilai lebih di mata para wanita, sayang pria seperti itu sangatlah jarang. Tetapi sayang, matanya dibutakan oleh emosi dan nafsu. Ia mencari kekasih dengan terburu-buru bukan karena ia mencintai wanita tersebut, tetapi karena ia tidak ingin merasa minder. Dengan begitu ia tidak menyadari bahwa ada masih banyak solusi yang tersedia jika ia mau membuka matanya (solusi dalam kasus ini berarti wanita yang mendambakan kekasih yang berhati baik dan tulus).
Ternyata emosi dan nafsu bisa mengalahkan logika. Apabila kita sedang menghadapi suatu masalah, maka jangan sampai kita dibimbing oleh emosi dan nafsu. Hal itu dikarenakan solusi yang ditawarkan oleh emosi dan nafsu kadang justru tidak menyelesaikan masalah. Baiklah, mungkin ada beberapa solusi yang cukup baik, tetapi kita semua tahu bahwa kemungkinan seperti itu sangatlah kecil. Kita diberi akal dan pikiran oleh Tuhan agar kita mampu berpikir, termasuk berpikir di saat kondisi yang sedang sulit. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika menggunakan akal dan pikiran kita untuk menghadapi suatu masalah, bukan dengan emosi dan nafsu. Karena dengan emosi dan nafsu maka mata kita akan menjadi gelap, sehingga kita hanya bisa melihat solusi. Itupun sudah cukup beruntung, karena kita masih bisa menemukan solusi, kadang dengan emosi dan nafsu kita justru tidak menemukan solusi. Selain itu dengna emosi dan nafsu kita akan terburu-buru. Kita tidak sempat berpikir, sehingga kita langsung setuju kepada solusi yang pertama kali terlihat oleh kita.
We only see what we want to see, therefore we only get what we have seen (saya mendapatkan kalimat ini dari pacar saya, karena ketrampilan saya dalam berbahasa Inggris cukup terbatas). Idiom itu mungkin berlaku jika kita menggunakan emosi dan nafsu sebagai pembimbing. Kita hanya bisa melihat apa yang kita ingin lihat, dengan begitu maka kita hanya bisa mendapatkan apa yang telah kita lihat. Bagaimana mungkin kita bisa memiliki sesuatu jika kita tidak pernah menyadari bahwa sesuatu itu ada?
Pagi itu perut saya keroncongan. Benar, keroncongan hingga perut saya terasa melilit dan mengencang. Sungguh kelaparan. Hal itu diakibatkan karena saya tidak sempat sarapan. Saya tidak sempat sarapan karena saya bangun kesiangan, sekitar pukul 8 pagi, padahal saya harus mengajar di BTA pukul 9 pagi. Apa boleh buat, maka saya pun terpaksa mempersingkat aktivitas pagi saya dengan mengorbankan sarapan. Ternyata hasilnya sungguh ironi. Saya sampai di BTA sebelum pukul 9 pagi. Setelah beberapa saat menunggu, ternyata murid-murid saya tidak ada yang datang. Maka pagi itu sesi pertama dibatalkan. Ironi bukan?
Setelah kelas resmi dibatalkan kira-kira setengah jam setelahnya, dengan perut yang kelaparan dan emosi yang sedikit menggumpal, maka saya pun melangkah keluar dari BTA. Niat saya hanya satu, yaitu mencari sarapan. Jantung saya mulai berdegup semakin kencang, pertanda bahwa otak dan perut sudah tidak bisa dibohongi lagi. Segala trik yang saya gunakan untuk mengecoh otak dan perut saya sudah tidak efektif lagi. Organ tubuh saya harus menyerah pada kenyataan yang menyedihkan, yaitu saya kelaparan. Sangat kelaparan. Maka saya pun mulai kalap dan mata saya menjadi gelap. Pikiran saya fokus untuk segera mencari makanan secepat-cepatnya. Tidak ada hal lain yang lebih mendesak daripada urusan perut di kondisi seperti itu bagi saya. Berarti saat itu saya mempunyai satu masalah, yaitu saya sedang kelaparan. Maka saya mencari sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah saya tersebut.
Karena rasa lapar yang teramat sangat, maka setelah kedua kaki saya keluar dari BTA pandangan saya langsung tertuju kepada sebuah gerobak yang disandarkan. Ternyata itu Gerobak Ketoprak. Maka tanpa berpikir panjang lagi gerobak itu langsung saya hampiri dan saya pun memesan sepiring ketoprak. Saat saya menunggu pesanan, hati saya mulai lega karena saya tahu beberapa menit lagi rasa lapar ini akan segera hilang. Jantung saya mulai berdetak kembali normal. Saya pun merasa bahwa say asudah menemukan solusi untuk mengatasi masalah saya tersebut. Saya pun mulai bisa berpikir dengan normal dan tenang kembali. Maka saya pun mulai rileks dan mulai mengamati keadaan sekitar. Hasilnya sungguh mengejutkan, ternyata beberap meter dari gerobak ketoprak ada yang menjual Nasi Pecel. Sekedar informasi, saya lebih menyukai Nasi Pecel daripada sepiring ketoprak-yang-rasanya-standar-dan-sama-di-semua-tempat. Saya menyesal, sungguh menyesal. Seandainya saya tadi sedikit lebih tenang dan mau bersabar untuk mengobservasi lingkungan sekitar terlebih dahulu, maka saya akan sarapan pagi dengan Nasi Pecel, bukan dengan ketoprak. Tetapi sudah terlambat, saya sudah memesan ketoprak dan pesanan saya sedang dibuat. Saya harus bertanggung jawab kepada penjual ketoprak.
Mungkin beberapa dari kalian pernah mengalami hal seperti saya. Rasa lapar yang teramat-sangat (rasa lapar ini tidak terbatas kepada rasa lapar terhadap makanan saja,bisa juga lapar terhadap hal lain, seperti minuman, yang biasa disebut haus tetapi mempunyai arti yang sama hanya berbeda objeknya, lapar terhadap kesenangan, hingga lapar terhadap cinta) kadang membuat gelap mata dan mempersempit pandangan kita. Akibat rasa lapar itu maka kita tidak mampu berpikir dengan logis, sehingga kita pun dikendalikan oleh rasa lapar yang menjadi nafsu yang membabi buta. Oleh karena itu, apabila kita sedang dibutakan oleh rasa lapar seperti itu maka kita condong untuk mengambil suatu solusi yang tersedia di depan mata kita. Atau alternatif yang pertama kali terlihat oleh kita. Padahal kadang solusi tersebut bukanlah pilihan yang terbaik, masih banyak pilihan lain yang lebih baik untuk kita. Tetapi apa boleh buat, mata kita dibutakan dan kita seperti memakai kacamata kuda, sehingga pandangan kita menyempit dan kita tidak mampu berpikir dengan logis. Sehingga kita langsung mengambil pilihan yang petama kali terlihat oleh kita dan kita tidak sadar, bahwa di luar sana masih ada beberapa pilihan dan solusi yang mungkin lebih baik dari yang telah kita ambil.
Seandainya saja kita mau lebih bersabar dalam menghadapi situasi seperti ini, maka ada kemungkinan kita bisa menikmati hasil yang lebih baik. Dengan tetap berpikir tenang di saat kondisi yang sedang sulit, maka kita akan bisa melihat dengan pandangan yang lebih luas. Hal itu akan membuat kita menyadari bahwa ada beberapa pilihaan dan solusi yang tersedia. Dengan begitu maka kita bisa menimbang dan mencoba menganalisa costs and benefits dari semua alternatif yang tersedia. Setelah berpikir masak-masak maka kita akan tahu pilihan dan solusi apa yang terbaik untuk kita.
Hal itu bisa terjadi dalam berbagai segi kehidupan di dunia nyata, baik tentang pertemanan, kuliah, pekerjaan hingga asmara. Kita semua pasti pernah menghadapi suatu masalah. Bagaimana cara kita memecahkan masalah tersebut? Apakah kita langsung setuju dan mengambil setiap solusi yang pertama kali terlintas di pkiran dan terlihat oleh kita? Ataukah kita bersabar dan berpikir dengan kepala dingin serta mencoba menganalisa apa solusi yang terbaik untuk kita? Saya akan mencoba memberi suatu contoh yang saya rasa cukup relevan dengan kasus seperti ini.
Ada seorang pria yang sudah lama tidak mempunyai hubungan asmara dengan wanita. Padahal pria itu sudah cukup berumur. Ia bahkan cukup depresi dengan keadaannya. Ia merasa minder dan rendah diri jika dibandingkan dengan teman-temannya. Padahal teman-temanya tidak ada yang pernah menyindir dia mengenai keadaannya, hal itu timbul karena prasangka buruk dari diri pria itu sendiri. Oleh karena itu ia bertekad untuk secepat mungkin mempunyai kekasih agar tidak lagi merasa minder. Karena ia sudah cukup depresi, maka ia terpaksa menurunkan ”standar penilaiannya” terhadap wanita. Ia tidak lagi berpikir panjang. Suatu hari ia berkenalan dengan seorang wanita. Tidak lama kemudia ia merasa bahwa hubungannya dengan wanita tersebut berjalan cukup lancar, maka ia pun langsung menyatakan cintanya kepada wanita tersebut. Ternyata wanita itu menerima cinta pria tersebut. Beruntungkah pria tersebut? Ternyata wanita tersebut mempunyai suatu kebiasaan buruk. Wanita tersebut tidak bisa setia terhadap pasangannya, bahkan wanita tersebut juga matre. Dengan begitu si pria itu menjadi semakin terjerembab dalam kesedihan. Maksud hati ingin segera mempunyai kekasih dan merasakan manisnya cinta, tetapi karena ia terburu-buru dan bersikap ”asal tembak” maka ia justru merasakan pahitnya cinta itu sendiri.
Dari siti kita bisa melihat bahwa karena terlalu tergesa-gesa dalam menyelesaikan suatu masalah (dalam kasus ini masalahnya adalah sudah lama tidak mempunyai kekasih) dapat mempunyai dampak yang buruk. Karena terbutu-buri pria itu tidak sempat menganalisa cost and benefit dari solusi yang tersedia (wanita tidak setia dan matre tersebut). Dengan begitu solusi yang tersedia ternyata justru tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. Seandainya ia bisa bersikap sabar dan tetap bersikap dan berpikir positif, maka ia akan melihat bahwa masih banyak wanita di luar sana yang mendambakan seorang kekasih yang baik hati. Dengan selalu bersikap positif, terutama kepada orang lain maka ia akan dikenal sebagai seseorang yang berhati mulia. Hal itu akan menyebabkan ia lebih ”bernilai” di mata wanita karena ia selalu bersikap positif (mungkin baik hati dan tulus kepada semua orang). Maka ia akan mempunyai lebih banyak lagi solusi (wanita yang bisa dipilih untuk dijadikan kekasih). Kita semua tahu, pria yang berhati baik dan tulus mempunyai nilai lebih di mata para wanita, sayang pria seperti itu sangatlah jarang. Tetapi sayang, matanya dibutakan oleh emosi dan nafsu. Ia mencari kekasih dengan terburu-buru bukan karena ia mencintai wanita tersebut, tetapi karena ia tidak ingin merasa minder. Dengan begitu ia tidak menyadari bahwa ada masih banyak solusi yang tersedia jika ia mau membuka matanya (solusi dalam kasus ini berarti wanita yang mendambakan kekasih yang berhati baik dan tulus).
Ternyata emosi dan nafsu bisa mengalahkan logika. Apabila kita sedang menghadapi suatu masalah, maka jangan sampai kita dibimbing oleh emosi dan nafsu. Hal itu dikarenakan solusi yang ditawarkan oleh emosi dan nafsu kadang justru tidak menyelesaikan masalah. Baiklah, mungkin ada beberapa solusi yang cukup baik, tetapi kita semua tahu bahwa kemungkinan seperti itu sangatlah kecil. Kita diberi akal dan pikiran oleh Tuhan agar kita mampu berpikir, termasuk berpikir di saat kondisi yang sedang sulit. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika menggunakan akal dan pikiran kita untuk menghadapi suatu masalah, bukan dengan emosi dan nafsu. Karena dengan emosi dan nafsu maka mata kita akan menjadi gelap, sehingga kita hanya bisa melihat solusi. Itupun sudah cukup beruntung, karena kita masih bisa menemukan solusi, kadang dengan emosi dan nafsu kita justru tidak menemukan solusi. Selain itu dengna emosi dan nafsu kita akan terburu-buru. Kita tidak sempat berpikir, sehingga kita langsung setuju kepada solusi yang pertama kali terlihat oleh kita.
We only see what we want to see, therefore we only get what we have seen (saya mendapatkan kalimat ini dari pacar saya, karena ketrampilan saya dalam berbahasa Inggris cukup terbatas). Idiom itu mungkin berlaku jika kita menggunakan emosi dan nafsu sebagai pembimbing. Kita hanya bisa melihat apa yang kita ingin lihat, dengan begitu maka kita hanya bisa mendapatkan apa yang telah kita lihat. Bagaimana mungkin kita bisa memiliki sesuatu jika kita tidak pernah menyadari bahwa sesuatu itu ada?
Selasa, 16 Maret 2010
Susah Masuknya
Susah Masuknya
Sudah pada tahu tentang biaya masuk Universitas Indonesia yang baru? Sekarang ini BOP berkeadilan yang digunakan oleh UI untuk menerima mahasiswa baru (Maba) angkatan 2008 dan 2009 sudah tidak lagi digunakan. Sekarang yang digunakan adalah biaya masuk yang dipatok rata (flat) untuk semua maba. Jumlahnya cukup besar, dari 5 juta rupiah hingga 25 juta rupiah (16 juta untuk FE). Perubahan ini tentu saja membuat banyak pihak berteriak lantang, karena dirasa cukup mahal dan memberatkan. Kalo sudah begini, siapa yang mampu untuk kuliah di UI yang terkenal dengan sebutan “kampus rakyat”? Tentu saja, hanya orang-orang golongan menengah ke atas yang mampu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu atau biasa-biasa saja?
Golongan yang paling tekena dampaknya adalah golongan menengah seperti saya. Tidak terlalu tajir, tapi juga tidak terlalu susah. Tetapi bila diminta untuk membayar sebanyak itu tentu saja orang tua saya akan merasa keberatan. Selain itu bila saya diminta menyertakan surat tidak mampu, sepertinya agak tidak etis ya? Karena masih banyak yang lebih susah daripada saya. Serba salah. Untung saya sudah menjadi mahasiswa UI. Alhamdulillah. Apakah orang-orang yang bekerja di rektorat tidak memikirkan nasib anak-anak yang kurang mampu tersebut?
Satu semester bisa menghabiskan 5 juta rupiah. Wow, itu jumlah yang cukup besar. Mungkin ada dari kalian yang berkata, “Itu kan satu semester. Berarti sebulannya g sampe sejuta dong. Satu semester kan ada 6 bulan.” Ya, kalian cukup bodoh bila menjawab seperti itu, khususnya bila kalian sudah kuliah di UI. Bila kalian kuliah di UI, untuk semester ganjil kuliah dimulai pada bulan September dan selesai pada bulan Desember. Hanya 4 bulan. Berarti dalam sebulan, para orang tua harus menyisihkan 1,25 juta (5 juta : 4) untuk biaya kuliah. Belum lagi ditambah uang jajan, kita asumsikan setiap bulan mereka mendapat 750 ribu rupiah. Uang buku dan uang kos tidak kita hitung, kita anggap saja semuanya pulang-pergi. Sedangkan untuk buku, anggap saja mereka beruntung karena bisa meminjam dari perpustakaan sehingga tidak usah mengeluarkan buku dari perpustakaan. (walau tidak mungkin ya? Biar gampang aje....) Berarti dalam sebulan para orang tua mengeluarkan dana 2 juta rupiah (1,25 juta + 750 ribu). Itu hanya untuk kuliah anaknya.
Kalian tahu berapa GDP per kapita Indonesia? Kurang lebih U$ 2500 (berdasarkan jawaban dari salah satu asdos di FE, yaa kalau salah mohon dimaafkan ya. Tetapi bedanya pasti tidak terlalu jauh kok) atau Rp 25 juta (1 US$ = 10000). Itu dalam setahun. Berarti dalam sebulan, rata-rata orang Indonesia mempunyai penghasilan sebesar Rp 2.083.333.3 (Rp 25 jt : 12 bulan). Tadi berapa uang yang dihabiskan para orang tua untuk biaya kuliah anaknya perbulan? 2 juta rupiah. Bedanya tipis banget ya? Berarti secara kasarnya, rata-rata orang Indonesia tidak mampu untuk menyekolahkan anak mereka di UI.
Seandainya para perumus kebijakan memikirkan seperti ini, apakah mereka masih tega untuk mengenakan biaya setinggi ini? Okelah, mungkin logika mereka berpendapat bahwa setinggi apapun biaya kuliah di UI, tetap saja masih banyak orang yang mendaftar. Oleh karena itu mereka mengenakan biaya yang semakin tinggi. Kalau dalam bahasa ekonomi, kurva permintaannya bersifat inelastis (termasuk barang pokok, perubahan kuantitas permintaan lebih kecil daripada perubahan harga). Itu jika dihitung menggunakan logika. Apakah moral dan nurani mereka tidak turut menghitung?
Saya pernah membaca salah satu buku berjudul “To Kill a Mockingbird” Di dalam buku itu ada ucapan dari salah satu tokohnya yang paling saya ingat, bunyinya kurang lebih seperti ini,”Kita tidak akan tahu seperti apa seseorang, hingga kita yang berada di posisi orang tersebut.” Ya, saya cukup setuju dengan ucapan tersebut. Mungkin kita tidak akan pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang lain, hingga kita berada di posisi orang tersebut. Oleh karena itu, saya ingin mengkhayal. Seandainya ada campur tangan Tuhan disini, sehingga orang-orang di rektorat bermimpi buruk seperti ini: Para perumus kebijakan uang kuliah tersebut sekarang menjadi orang tua dari golongan menengah ke bawah (penghasilan sebulan kurang dari 7 juta rupiah) dari para siswa kelas 3 SMA yang ingin merajut mimpi dan melanjutkan kuliah di UI. Lalu mereka menyadari, betapa tingginya biaya untuk kuliah di UI. Kira-kira apa yang mereka rasakan? Saya yakin, mereka pasti gelisah dalam tidurnya, keringat dingin bercucuran, berguling kesana-kemari sambil berteriak, “Tidak!!!” lalu mereka jatuh dari tempat tidur dan terbangun. Lalu mereka berkata, “untung cuma mimpi....” dan menghela napas lega.
Lalu bila para perumus kebijakan tersebut masih punya nurani, mereka akan berjalan dengan mantap menuju rektorat dan menghadap pimpinan mereka, beberapa saat kemudian mereka menyuarakan isi hati mereka bahwa biaya kuliah du UI sekarang ini mencekik leher untuk kebanyakan orang Indonesia. Lalu sang pimpinan tersadar, bahwa perpustakaan mewah yang dibangunnya ini bukanlah prioritas. Lebih baik membenahi perpustakaan masing-masing fakultas dan menyediakan dana untuk penelitian. Kualitas lebih penting daripada sekedar kesan. Sambil tersenyum lembut ia pun setuju, dan akhirnya Surat Keputusan yang baru terbit. Biaya masuk UI dibuat seadil mungkin, yang tidak mampu membayar murah dan yang mampu membayar lebih. Cita-cita sang pemimpin berubah, dari sekedar ingin membuat UI menjadi World Class University menjadi lebih sederhana. Ia hanya ingin agar semua anak Indonesia bisa memperoleh pendidikan di universitas terbaik seIndonesia dengan murah. Bahasa sederhanya, mencerdaskan bangsa, tetapi tidak memeras bangsa. Tentu saja, ini hanya impian dan harapan saja. Kenyataannya? Saya tidak tahu.
Tetapi ini bukan mimpi Bung!!! Ada banyak orang tua di luar sana yang merasa ketar-ketir ketika tahu betapa mahalnya kuliah di UI. Mereka tidak bermimpi dan mereka tidak berdaya. Di satu sisi, setiap melihat anak mereka belajar dengan giatnya untuk SIMAK UI, tentu saja mereka mendoakan agar anaknya lulus, dan doa orang tua merupakan doa yang sangat manjur. Saya jamin itu. Tetapi disisi lain, mereka bingung, apa yang harus mereka lakukan agar mereka bisa membayar biaya kuliah yang begitu tinggi tersebut. Apaka orang-orang di rektorat harus mempunyai anak kelas 3 SMA atau mimpi buruk dahulu baru mereka menyadari betapa menderitanya para orang tua golongan menengah ke bawah di bangsa ini?
Sudah pada tahu tentang biaya masuk Universitas Indonesia yang baru? Sekarang ini BOP berkeadilan yang digunakan oleh UI untuk menerima mahasiswa baru (Maba) angkatan 2008 dan 2009 sudah tidak lagi digunakan. Sekarang yang digunakan adalah biaya masuk yang dipatok rata (flat) untuk semua maba. Jumlahnya cukup besar, dari 5 juta rupiah hingga 25 juta rupiah (16 juta untuk FE). Perubahan ini tentu saja membuat banyak pihak berteriak lantang, karena dirasa cukup mahal dan memberatkan. Kalo sudah begini, siapa yang mampu untuk kuliah di UI yang terkenal dengan sebutan “kampus rakyat”? Tentu saja, hanya orang-orang golongan menengah ke atas yang mampu. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang berasal dari golongan kurang mampu atau biasa-biasa saja?
Golongan yang paling tekena dampaknya adalah golongan menengah seperti saya. Tidak terlalu tajir, tapi juga tidak terlalu susah. Tetapi bila diminta untuk membayar sebanyak itu tentu saja orang tua saya akan merasa keberatan. Selain itu bila saya diminta menyertakan surat tidak mampu, sepertinya agak tidak etis ya? Karena masih banyak yang lebih susah daripada saya. Serba salah. Untung saya sudah menjadi mahasiswa UI. Alhamdulillah. Apakah orang-orang yang bekerja di rektorat tidak memikirkan nasib anak-anak yang kurang mampu tersebut?
Satu semester bisa menghabiskan 5 juta rupiah. Wow, itu jumlah yang cukup besar. Mungkin ada dari kalian yang berkata, “Itu kan satu semester. Berarti sebulannya g sampe sejuta dong. Satu semester kan ada 6 bulan.” Ya, kalian cukup bodoh bila menjawab seperti itu, khususnya bila kalian sudah kuliah di UI. Bila kalian kuliah di UI, untuk semester ganjil kuliah dimulai pada bulan September dan selesai pada bulan Desember. Hanya 4 bulan. Berarti dalam sebulan, para orang tua harus menyisihkan 1,25 juta (5 juta : 4) untuk biaya kuliah. Belum lagi ditambah uang jajan, kita asumsikan setiap bulan mereka mendapat 750 ribu rupiah. Uang buku dan uang kos tidak kita hitung, kita anggap saja semuanya pulang-pergi. Sedangkan untuk buku, anggap saja mereka beruntung karena bisa meminjam dari perpustakaan sehingga tidak usah mengeluarkan buku dari perpustakaan. (walau tidak mungkin ya? Biar gampang aje....) Berarti dalam sebulan para orang tua mengeluarkan dana 2 juta rupiah (1,25 juta + 750 ribu). Itu hanya untuk kuliah anaknya.
Kalian tahu berapa GDP per kapita Indonesia? Kurang lebih U$ 2500 (berdasarkan jawaban dari salah satu asdos di FE, yaa kalau salah mohon dimaafkan ya. Tetapi bedanya pasti tidak terlalu jauh kok) atau Rp 25 juta (1 US$ = 10000). Itu dalam setahun. Berarti dalam sebulan, rata-rata orang Indonesia mempunyai penghasilan sebesar Rp 2.083.333.3 (Rp 25 jt : 12 bulan). Tadi berapa uang yang dihabiskan para orang tua untuk biaya kuliah anaknya perbulan? 2 juta rupiah. Bedanya tipis banget ya? Berarti secara kasarnya, rata-rata orang Indonesia tidak mampu untuk menyekolahkan anak mereka di UI.
Seandainya para perumus kebijakan memikirkan seperti ini, apakah mereka masih tega untuk mengenakan biaya setinggi ini? Okelah, mungkin logika mereka berpendapat bahwa setinggi apapun biaya kuliah di UI, tetap saja masih banyak orang yang mendaftar. Oleh karena itu mereka mengenakan biaya yang semakin tinggi. Kalau dalam bahasa ekonomi, kurva permintaannya bersifat inelastis (termasuk barang pokok, perubahan kuantitas permintaan lebih kecil daripada perubahan harga). Itu jika dihitung menggunakan logika. Apakah moral dan nurani mereka tidak turut menghitung?
Saya pernah membaca salah satu buku berjudul “To Kill a Mockingbird” Di dalam buku itu ada ucapan dari salah satu tokohnya yang paling saya ingat, bunyinya kurang lebih seperti ini,”Kita tidak akan tahu seperti apa seseorang, hingga kita yang berada di posisi orang tersebut.” Ya, saya cukup setuju dengan ucapan tersebut. Mungkin kita tidak akan pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang lain, hingga kita berada di posisi orang tersebut. Oleh karena itu, saya ingin mengkhayal. Seandainya ada campur tangan Tuhan disini, sehingga orang-orang di rektorat bermimpi buruk seperti ini: Para perumus kebijakan uang kuliah tersebut sekarang menjadi orang tua dari golongan menengah ke bawah (penghasilan sebulan kurang dari 7 juta rupiah) dari para siswa kelas 3 SMA yang ingin merajut mimpi dan melanjutkan kuliah di UI. Lalu mereka menyadari, betapa tingginya biaya untuk kuliah di UI. Kira-kira apa yang mereka rasakan? Saya yakin, mereka pasti gelisah dalam tidurnya, keringat dingin bercucuran, berguling kesana-kemari sambil berteriak, “Tidak!!!” lalu mereka jatuh dari tempat tidur dan terbangun. Lalu mereka berkata, “untung cuma mimpi....” dan menghela napas lega.
Lalu bila para perumus kebijakan tersebut masih punya nurani, mereka akan berjalan dengan mantap menuju rektorat dan menghadap pimpinan mereka, beberapa saat kemudian mereka menyuarakan isi hati mereka bahwa biaya kuliah du UI sekarang ini mencekik leher untuk kebanyakan orang Indonesia. Lalu sang pimpinan tersadar, bahwa perpustakaan mewah yang dibangunnya ini bukanlah prioritas. Lebih baik membenahi perpustakaan masing-masing fakultas dan menyediakan dana untuk penelitian. Kualitas lebih penting daripada sekedar kesan. Sambil tersenyum lembut ia pun setuju, dan akhirnya Surat Keputusan yang baru terbit. Biaya masuk UI dibuat seadil mungkin, yang tidak mampu membayar murah dan yang mampu membayar lebih. Cita-cita sang pemimpin berubah, dari sekedar ingin membuat UI menjadi World Class University menjadi lebih sederhana. Ia hanya ingin agar semua anak Indonesia bisa memperoleh pendidikan di universitas terbaik seIndonesia dengan murah. Bahasa sederhanya, mencerdaskan bangsa, tetapi tidak memeras bangsa. Tentu saja, ini hanya impian dan harapan saja. Kenyataannya? Saya tidak tahu.
Tetapi ini bukan mimpi Bung!!! Ada banyak orang tua di luar sana yang merasa ketar-ketir ketika tahu betapa mahalnya kuliah di UI. Mereka tidak bermimpi dan mereka tidak berdaya. Di satu sisi, setiap melihat anak mereka belajar dengan giatnya untuk SIMAK UI, tentu saja mereka mendoakan agar anaknya lulus, dan doa orang tua merupakan doa yang sangat manjur. Saya jamin itu. Tetapi disisi lain, mereka bingung, apa yang harus mereka lakukan agar mereka bisa membayar biaya kuliah yang begitu tinggi tersebut. Apaka orang-orang di rektorat harus mempunyai anak kelas 3 SMA atau mimpi buruk dahulu baru mereka menyadari betapa menderitanya para orang tua golongan menengah ke bawah di bangsa ini?
Rabu, 10 Februari 2010
Bagus vs Berpengaruh
Bagus vs Berpengaruh
Pada suatu sore, selepas bermain bola di Pertamina Hall FE saya bersama beberapa teman saya menuju Kober untuk makan sore, karena kami semua merasa kelaparan. Setelah berdiskusi beberapa waktu maka pilihan kami jatuh kepada Warung Ayam Penyet di Kober. Untuk sekedar tambahan informasi, Ayam Penyet di tempat itu sangatlah nikmat, terutama bagi para penggemar pedas karena rasa pedasnya yang dominan. Saat sedang asyik menikmati hidangan tiba-tiba perhatian kami tertuju pada televisi yang dipasang di warung tersebut. Televisi itu menayangkan acara di salah satu stasiun televisi swasta yang membahas “7 Film Berpengaruh di Indonesia”. Beberapa teman saya berkata bahwa “Pintu Terlarang” yang disutradarai oleh Joko Anwar pasti masuk karena kualitasnya yang sangat bagus jika dibandingkan film-film Indonesia lainnya, jika tidak maka hal itu merupakan suatu hal yang sungguh aneh karena menurut teman-teman saya yang ahli dalam perfilman, film dari Joko Anwar tersebut mampu mendobrak dunia sineas Indonesia. Saya hanya mengangguk-angguk saja sambil menghabiskan hidangan saya.
Ternyata setelah ketujuh film dibahas, Pintu Terlarang tidak masuk dalam kategori tersebut. Tentu saja teman-teman saya tadi merasa kecewa, bahkan cenderung menyalahkan bagaimana kriteria pemilihannya. Lagi-lagi saya hanya diam saja, mencoba memikirkan mengapa hal itu bisa terjadi. Setelah beberapa hari saya berpikir, akhirnya saya menemukan jawabannya. Jawabannya sebenarnya sederhana saja, jika kita mengetahui dengan pasti apa perbedaan definisi antara bagus dan berpengaruh.
Menurut saya, bagus belum tentu sama dengan berpengaruh. Suatu hal yang bagus belum tentu berpengaruh dan suatu hal yang berpengaruh belum tentu bagus. Masih bingung dengan pernyataan di atas? Marilah kita telaah sejenak dengan mengambil contoh yang mudah di dunia perkuliahan. Misalnya ada seorang anak yang berkualitas bagus, terutama dari segi kepintarannya. Setiap semester Ipnya (Indeks Prestasi) pasti cum-laude (definisi cum-laude berarti Ipnya di atas 3,5 dari skala 4). Berarti sudah jelas bahwa anak itu termasuk “bagus”. Hal yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah anak itu juga berpengaruh? Jawabannya adalah belum tentu. Salah satu alasannya disebabkan bagaimana sikap anak itu sendiri.
Sudah jelas bahwa anak itu bagus, tetapi ia belum tentu berpengaruh. Mengapa ia bisa tidak berpengaruh? Seperti yang sudah saya beritahu di atas, ia tidak berpengaruh karena sikapnya sendiri. Implikasinya begini, kita tahu bahwa hampir setiap semester ipnya cum-laude, tetapi karena ia selalu belajar seorang diri dan tidak pernah mau membagi ilmunya dengan mahasiswa lain, maka tidak ada teman-temannya yang mendapat manfaat dari kepintarannya tersebut. Sehingga walaupun ia mempunyai kualitas yang bagus, tetapi sudah jelas ia tidak berpengaruh.
Akan sangat berbeda jika mahasiswa yang pintar tersebut selalu ikut belajar bersama dan senang untuk mengajari teman-temannya menjelang ujian. Hal itu akan menyebabkan teman-temannya mendapat manfaat dari kualitasnya tersebut, sehingga nilai-nilai temannya juga ikut meningkat. Maka sudah jelas bahwa ia akan sangat berpengaruh, karena selain kualitasnya yang bagus ia juga “membuka diri” terhadap mahasiswa lain.
Dari contoh di atas kita bisa melihat bagaimana perilaku seseorang dapat lebih signifikan dalam menentukan berpengaruh atau tidak dirinya terhadap orang lain dibandingkan kualitas. Berarti kita bisa mengambil kesimpulan bahwa berpengaruhnya sesuatu hal ditentukan oleh 2 hal, yaitu kualitas dan sikap terbuka.
Mungkin impikasinya terhadap Pintu Terlarang cukup sederhana. Jika kita setuju bahwa sikap terbukanya seseorang dapat menentukan sejauh mana orang tersebut bisa berpengaruh maka mungkin Pintu Terlarang tidak cukup berpengaruh karena ia kurang “membuka diri’. Yang dimaksud dengan kurang membuka diri disini ialah bagaiamna publikasi dari Pintu Terlarang dirasa kurang berhasil. Publikasinya bisa kurang berhasil karena promosinya yang kurang gencar dan mungkin kalah bersaing dari film lain dalam segi promosi. Berdasarkan contoh di atas maka saya berpendapat bahwa kualitas dan sikap terbuka dari seseorang dapat menentukani apakah seseorang bisa berpengaruh atau tidak. Atau dengan kata lain seseorang bisa berpengaruh jika ia berkualitas dan mempunyai sikap terbuka, tetapi dengan mengambil contoh dari mahasiwa tadi maka kita tahu bahwa sikap terbuka bisa lebih menentukan dari kualitas.
Ternyata ada faktor lain yang turut menentukan apakah seseorang bisa berpengaruh atau tidak, yaitu bagaimana kualitas, tingkah laku dan pola pikir masyarakan di sekitar. Faktor ini saya rasa lebih berpengaruh dari kedua hal yang sudah saya jelaskan tadi (kualitas dan sikap terbuka). Apakah kalian semua percaya, bahwa sebagus apapun kualitas dan begitu terbukanya seseorang bisa tidak berarti jika kualitas dan tingkah laku masyarakat tidak cocok.
Saya akan memberi contoh Socrates. Kita tahu bahwa Socrates mempunyai kualitas yang bagus. Ia termasuk salah satu manusia paling berkualitas dalam zamannya, selain itu ia juga cukup membuka diri. Ia sering menyampaikan kritik-kritik terhadap pemerintah dan tingkah laku masyarakat sekitar. Tetapi apakah ia berpengaruh? Ternyata tidak. Karena tingkah laku dan pola pikir masyarakat tidak mampu untuk mengimbangi kualitas dari Socrates itu sendiri. Hal itu menyebabkan beberapa orang menganggap bahwa Socrates terlalu banyak omong dan dapat mengganggu stabilitas, sehingga pada akhirnya dihukum mati. Ternyata masyarakat juga harus mampu mengimbangi kualitas dari orang tersebut.
Hal ini mngkin dapat menjelaskan mengapa Pintu Terlarang kurang berpengaruh. Karena kualitas dan pola pikir masyarakat Indonesia sendiri yang belum siap dengan film sejenis ini. Walaupun Pintu Terlarang mempunyai kualitas yang begitu bagus (telah diakui di beberapa festifal film internasional), tetapi karena kualitas, tingkah laku, dan pola pikir masyarakat Indonesia belum bisa mengimbangi maka film ini tidak terlalu berpengaruh. Kualitas, tingkah laku, dan pola pikir masyarakat Indonesia masih bersifat homogen sehingga biasanya kurang cocok untuk menerima sesuatu yang “berbeda”.
Setelah mencoba menganalisa, maka kita menemukan bagaiman suatu hal bisa berpengaruh. Dari faktor internal, suatu hal bisa berpengaruh jika hal tersebut berkualitas dan mempunyai sikap terbuka yang cukup sehingga orang lain bisa merasakan manfaat dari kualitas hal tersebut. Oleh karena itulah hal tersebut bisa berpengaruh. Selain itu juga ada faktor eksternal yang mempengaruhi, yaitu bagaimana kualitas, tingkah laku dan pola pikir dari masyrakat sekitar. Jika masyarakt masih belum siap dengan kualitas hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh. Berbeda apabila masyarakat telah siap, maka hal itu akan sangat berpengaruh. Saran saya, jika kita mempunyai kualitas yang dirasa dapat memberikan manfaat untuk orang lain, maka akan sangat baik jika kita bersikap terbuka sehingga orang lain juga dapat mendapatkan manfaat dari kualitas kita. Atau dalam bahasa ekonomi, eksternalitas positif. Kita ini makhluk sosial kawan, janganlah dipendam potensi-potensi yang ada dalam diri kita. Bagikanlah kepada orang lain.
Pada suatu sore, selepas bermain bola di Pertamina Hall FE saya bersama beberapa teman saya menuju Kober untuk makan sore, karena kami semua merasa kelaparan. Setelah berdiskusi beberapa waktu maka pilihan kami jatuh kepada Warung Ayam Penyet di Kober. Untuk sekedar tambahan informasi, Ayam Penyet di tempat itu sangatlah nikmat, terutama bagi para penggemar pedas karena rasa pedasnya yang dominan. Saat sedang asyik menikmati hidangan tiba-tiba perhatian kami tertuju pada televisi yang dipasang di warung tersebut. Televisi itu menayangkan acara di salah satu stasiun televisi swasta yang membahas “7 Film Berpengaruh di Indonesia”. Beberapa teman saya berkata bahwa “Pintu Terlarang” yang disutradarai oleh Joko Anwar pasti masuk karena kualitasnya yang sangat bagus jika dibandingkan film-film Indonesia lainnya, jika tidak maka hal itu merupakan suatu hal yang sungguh aneh karena menurut teman-teman saya yang ahli dalam perfilman, film dari Joko Anwar tersebut mampu mendobrak dunia sineas Indonesia. Saya hanya mengangguk-angguk saja sambil menghabiskan hidangan saya.
Ternyata setelah ketujuh film dibahas, Pintu Terlarang tidak masuk dalam kategori tersebut. Tentu saja teman-teman saya tadi merasa kecewa, bahkan cenderung menyalahkan bagaimana kriteria pemilihannya. Lagi-lagi saya hanya diam saja, mencoba memikirkan mengapa hal itu bisa terjadi. Setelah beberapa hari saya berpikir, akhirnya saya menemukan jawabannya. Jawabannya sebenarnya sederhana saja, jika kita mengetahui dengan pasti apa perbedaan definisi antara bagus dan berpengaruh.
Menurut saya, bagus belum tentu sama dengan berpengaruh. Suatu hal yang bagus belum tentu berpengaruh dan suatu hal yang berpengaruh belum tentu bagus. Masih bingung dengan pernyataan di atas? Marilah kita telaah sejenak dengan mengambil contoh yang mudah di dunia perkuliahan. Misalnya ada seorang anak yang berkualitas bagus, terutama dari segi kepintarannya. Setiap semester Ipnya (Indeks Prestasi) pasti cum-laude (definisi cum-laude berarti Ipnya di atas 3,5 dari skala 4). Berarti sudah jelas bahwa anak itu termasuk “bagus”. Hal yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah anak itu juga berpengaruh? Jawabannya adalah belum tentu. Salah satu alasannya disebabkan bagaimana sikap anak itu sendiri.
Sudah jelas bahwa anak itu bagus, tetapi ia belum tentu berpengaruh. Mengapa ia bisa tidak berpengaruh? Seperti yang sudah saya beritahu di atas, ia tidak berpengaruh karena sikapnya sendiri. Implikasinya begini, kita tahu bahwa hampir setiap semester ipnya cum-laude, tetapi karena ia selalu belajar seorang diri dan tidak pernah mau membagi ilmunya dengan mahasiswa lain, maka tidak ada teman-temannya yang mendapat manfaat dari kepintarannya tersebut. Sehingga walaupun ia mempunyai kualitas yang bagus, tetapi sudah jelas ia tidak berpengaruh.
Akan sangat berbeda jika mahasiswa yang pintar tersebut selalu ikut belajar bersama dan senang untuk mengajari teman-temannya menjelang ujian. Hal itu akan menyebabkan teman-temannya mendapat manfaat dari kualitasnya tersebut, sehingga nilai-nilai temannya juga ikut meningkat. Maka sudah jelas bahwa ia akan sangat berpengaruh, karena selain kualitasnya yang bagus ia juga “membuka diri” terhadap mahasiswa lain.
Dari contoh di atas kita bisa melihat bagaimana perilaku seseorang dapat lebih signifikan dalam menentukan berpengaruh atau tidak dirinya terhadap orang lain dibandingkan kualitas. Berarti kita bisa mengambil kesimpulan bahwa berpengaruhnya sesuatu hal ditentukan oleh 2 hal, yaitu kualitas dan sikap terbuka.
Mungkin impikasinya terhadap Pintu Terlarang cukup sederhana. Jika kita setuju bahwa sikap terbukanya seseorang dapat menentukan sejauh mana orang tersebut bisa berpengaruh maka mungkin Pintu Terlarang tidak cukup berpengaruh karena ia kurang “membuka diri’. Yang dimaksud dengan kurang membuka diri disini ialah bagaiamna publikasi dari Pintu Terlarang dirasa kurang berhasil. Publikasinya bisa kurang berhasil karena promosinya yang kurang gencar dan mungkin kalah bersaing dari film lain dalam segi promosi. Berdasarkan contoh di atas maka saya berpendapat bahwa kualitas dan sikap terbuka dari seseorang dapat menentukani apakah seseorang bisa berpengaruh atau tidak. Atau dengan kata lain seseorang bisa berpengaruh jika ia berkualitas dan mempunyai sikap terbuka, tetapi dengan mengambil contoh dari mahasiwa tadi maka kita tahu bahwa sikap terbuka bisa lebih menentukan dari kualitas.
Ternyata ada faktor lain yang turut menentukan apakah seseorang bisa berpengaruh atau tidak, yaitu bagaimana kualitas, tingkah laku dan pola pikir masyarakan di sekitar. Faktor ini saya rasa lebih berpengaruh dari kedua hal yang sudah saya jelaskan tadi (kualitas dan sikap terbuka). Apakah kalian semua percaya, bahwa sebagus apapun kualitas dan begitu terbukanya seseorang bisa tidak berarti jika kualitas dan tingkah laku masyarakat tidak cocok.
Saya akan memberi contoh Socrates. Kita tahu bahwa Socrates mempunyai kualitas yang bagus. Ia termasuk salah satu manusia paling berkualitas dalam zamannya, selain itu ia juga cukup membuka diri. Ia sering menyampaikan kritik-kritik terhadap pemerintah dan tingkah laku masyarakat sekitar. Tetapi apakah ia berpengaruh? Ternyata tidak. Karena tingkah laku dan pola pikir masyarakat tidak mampu untuk mengimbangi kualitas dari Socrates itu sendiri. Hal itu menyebabkan beberapa orang menganggap bahwa Socrates terlalu banyak omong dan dapat mengganggu stabilitas, sehingga pada akhirnya dihukum mati. Ternyata masyarakat juga harus mampu mengimbangi kualitas dari orang tersebut.
Hal ini mngkin dapat menjelaskan mengapa Pintu Terlarang kurang berpengaruh. Karena kualitas dan pola pikir masyarakat Indonesia sendiri yang belum siap dengan film sejenis ini. Walaupun Pintu Terlarang mempunyai kualitas yang begitu bagus (telah diakui di beberapa festifal film internasional), tetapi karena kualitas, tingkah laku, dan pola pikir masyarakat Indonesia belum bisa mengimbangi maka film ini tidak terlalu berpengaruh. Kualitas, tingkah laku, dan pola pikir masyarakat Indonesia masih bersifat homogen sehingga biasanya kurang cocok untuk menerima sesuatu yang “berbeda”.
Setelah mencoba menganalisa, maka kita menemukan bagaiman suatu hal bisa berpengaruh. Dari faktor internal, suatu hal bisa berpengaruh jika hal tersebut berkualitas dan mempunyai sikap terbuka yang cukup sehingga orang lain bisa merasakan manfaat dari kualitas hal tersebut. Oleh karena itulah hal tersebut bisa berpengaruh. Selain itu juga ada faktor eksternal yang mempengaruhi, yaitu bagaimana kualitas, tingkah laku dan pola pikir dari masyrakat sekitar. Jika masyarakt masih belum siap dengan kualitas hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh. Berbeda apabila masyarakat telah siap, maka hal itu akan sangat berpengaruh. Saran saya, jika kita mempunyai kualitas yang dirasa dapat memberikan manfaat untuk orang lain, maka akan sangat baik jika kita bersikap terbuka sehingga orang lain juga dapat mendapatkan manfaat dari kualitas kita. Atau dalam bahasa ekonomi, eksternalitas positif. Kita ini makhluk sosial kawan, janganlah dipendam potensi-potensi yang ada dalam diri kita. Bagikanlah kepada orang lain.
Selasa, 10 November 2009
Snacknya Yang Membedakan
Snacknya Yang Membedakan
Sejak zaman penjajahan dulu hingga era globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia mempunyai sikap “mendewakan” segala sesuatu yang berbau “Barat”. Menurut saya hal itu tidaklah salah secara keseluruhan. Karena bagaimanapun juga bangsa Barat (baca: penjajah) mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia ini. Salah satu yang menjadi perbedaan dasar antara Indonesia dengan bangsa Barat ialah produktivitas.
Mengapa saya memilih untuk melihat dari segi produktivitas? Karena menurut saya produktivitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kualitas sumber daya manusia dapat teraplikasikan melalui produktivitas. Makin tinggi kualitas suatu manusia (labor) maka akan makin tinggi produktivitasnya yang berarti pembangunan dapat berjalan dengan lebih cepat dan mudah. Sekarang mari kita bahas mengapa produktivitas masyarakat Indonesia bisa berbeda dengan masyarakat “Londo”.
Faktor pertama yang saya perhatikan ialah dari segi makanan, baik secara kualitas dan kapan kita menyantap makanan tersebut. Kita asumsikan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia (kita sebut mereka pekerja atau labor) sarapan pada pukul 06.00-07.00. Setelah sarapan maka para pekerja Indonesia pergi untuk beraktivitas baik untuk sekolah, kuliah maupun pergi bekerja (dalam kasus ini saya akan lebih fokus pada masyarakat yang bekerja). Dari pukul 08.00-10.30 produktivitas pekerja Indonesia sedang mencapai puncaknya karena mereka masih merasa kenyang sehingga bisa konsentrasi dalam pekerjaan mereka. Tetapi setelah pukul 13.00 produktivitas mulai menurun, karena mereka mulai merasa kelaparan. Tetapi karena rata-rata istirahat makan siang dimulai pada pukul 12.00 maka mau tidak mau mereka terpaksa menahan lapar mereka sambil terus beraktivitas. Tentu saja produktivitas mereka terganggu.
Setelah itu pekerja Indonesia pergi untuk makan siang pada pukul 12.00. Tentu saja karena mereka sudah merasa sangat kelaparan maka mereka pun makan dengan lahap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum merasa kenyang jika belum menyantap nasi. Maka mereka pun memilih untuk mengkonsumsi nasi dengan jumlah yang sangat banyak (bahkan kadang-kadang beberapa di antara mereka mengkonsumsi hingga 2 porsi). Karena pada awalnya mereka merasa sangat kelaparan, lalu mereka makan siang dengan lahap (atau kalap? Hingga keringat bercucuran lalu berkata, “Wah...abis makan jadi seger!!!”. Seger apaan, ada juga abis makan, terus kekenyangan terus jadinya ngantuk.) maka setelah makan siang mereka merasa kekenyangan. Belum lagi untuk para pekerja yang merokok. Mereka “wajib” untuk merokok dahulu selepas makan, karena mereka menganggap sebatang rokok sebagai “dessert”.
Karena merasa kekenyangan maka banyak diantara mereka yang menjadi malas dan merasa ngantuk (tu..bener kan jadi ngantuk!!!). Banyak di antara mereka yang memilih untuk tidur siang setelah makan siang. Karena mengantuk itulah maka selepas makan siang produktivitas mereka pun bukannya kembali membaik (seperti pukul 08.00-10.30) malah tetap buruk. Bedanya jika tadi produktivitas mereka buruk karena kelaparan maka kini karena kekenyangan.
Hal ini sangatlah berbeda dengan para pekerja “Bule”. Kita asumsikan mereka mempunyai jadwal sarapan yang sama dengan bangsa kita (karena saya ingin fokus kepada para pekerja Bule yang bekerja di Indonesia, agar perbandingannya lebih komparatif), yaitu pada pukul 06.00-07.00. Setelah itu sama seperti para pekerja Indonesia mereka pun segera pergi untuk bekerja. Produktivitas mereka pun sedang kencang-kencangnya pada pukul 08.00 10.30. Baru setelah pukul 10.30 mereka mulai merasa kelaparan.
Disinilah letak perbedaan antara pekerja Indonesia dengan pekerja Bule yang menjadi kunci.Saat pekerja Bule kelaparan setelah pukul 10.30 mereka menyemil atau makan snack (biasa dikenal dengan nyenek). Dengan nyenek maka rasa lapar mereka pun sedikit terobati sehingga produktivitas mereka tidak turun terlalu jauh seperti para pekerja Indonesia atau bahkan tetap terjaga seperti sebelumnya. Karena mereka biasa nyenek maka saat makan siang mereka tidak merasa kelaparan yang amat menderita. Sehingga mereka pun menyantap makan siang dengan porsi secukupnya. Setelah makan siang mereka tidak merasa kekenyangan, hanya “cukup kenyang” karena tadi hanya “cukup lapar”. Karena perut mereka tidak terlalu memuat banyak muatan (baca: kekenyangan) maka produktivitas mereka setelah makan siang dapat terjaga dan kembali seperti pada pukul 08.00-10.30.
Ternyata nyenek menjadi faktor kunci yang memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas. Oleh karena itu, sangatlah disarankan bagi para masyarakat Indonesia (tidak hanya pekerja saja) untuk nyenek seperti para pekerja Bule saat rasa lapar mulai mengganggu. Hal ini dikarenakan supaya rasa lapar tersebut tidak sampai menganggu produktivitas dan tidak sampai membuat kita merasa sangat kelaparan saat makan siang. Sehingga kita dapat kenyang dengan makan siang secukupnya dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan tidak baik. Seperti salah satu hadist Rasul, yaitu kita dianjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang. Menurut saya hal tersebut ada hubungannya dengan rasa kekenyangan yang dapat mengganggu produktivitas.
Selain itu nyenek juga mempunyai manfaat lain, yaitu sebagai ajang sosial. Istirahat 5-10 menit (contoh: Kopet dll) sambil nyenek ditemani obrolan-obrolan ringan bersama rekan-rekan kerja akan membuat suasana di lingkungan kerja menjadi lebih akrab dan hangat. Selain itu hubungan antar pekerja juga makin akrab. Dengan hubungan yang makin akrab ditambah suasana yang juga semakin haromis dan kondusif maka produktivitas para pekerja juga akan meningkat.
Nyenek --> tidak terlalu lapar --> produktivitas terjaga --> makan siang secukupnya --> tidak kekenyangan --> produktivitas juga masih terjaga --> bangsa untung
Sejak zaman penjajahan dulu hingga era globalisasi sekarang ini, bangsa Indonesia mempunyai sikap “mendewakan” segala sesuatu yang berbau “Barat”. Menurut saya hal itu tidaklah salah secara keseluruhan. Karena bagaimanapun juga bangsa Barat (baca: penjajah) mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia ini. Salah satu yang menjadi perbedaan dasar antara Indonesia dengan bangsa Barat ialah produktivitas.
Mengapa saya memilih untuk melihat dari segi produktivitas? Karena menurut saya produktivitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kualitas sumber daya manusia dapat teraplikasikan melalui produktivitas. Makin tinggi kualitas suatu manusia (labor) maka akan makin tinggi produktivitasnya yang berarti pembangunan dapat berjalan dengan lebih cepat dan mudah. Sekarang mari kita bahas mengapa produktivitas masyarakat Indonesia bisa berbeda dengan masyarakat “Londo”.
Faktor pertama yang saya perhatikan ialah dari segi makanan, baik secara kualitas dan kapan kita menyantap makanan tersebut. Kita asumsikan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia (kita sebut mereka pekerja atau labor) sarapan pada pukul 06.00-07.00. Setelah sarapan maka para pekerja Indonesia pergi untuk beraktivitas baik untuk sekolah, kuliah maupun pergi bekerja (dalam kasus ini saya akan lebih fokus pada masyarakat yang bekerja). Dari pukul 08.00-10.30 produktivitas pekerja Indonesia sedang mencapai puncaknya karena mereka masih merasa kenyang sehingga bisa konsentrasi dalam pekerjaan mereka. Tetapi setelah pukul 13.00 produktivitas mulai menurun, karena mereka mulai merasa kelaparan. Tetapi karena rata-rata istirahat makan siang dimulai pada pukul 12.00 maka mau tidak mau mereka terpaksa menahan lapar mereka sambil terus beraktivitas. Tentu saja produktivitas mereka terganggu.
Setelah itu pekerja Indonesia pergi untuk makan siang pada pukul 12.00. Tentu saja karena mereka sudah merasa sangat kelaparan maka mereka pun makan dengan lahap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum merasa kenyang jika belum menyantap nasi. Maka mereka pun memilih untuk mengkonsumsi nasi dengan jumlah yang sangat banyak (bahkan kadang-kadang beberapa di antara mereka mengkonsumsi hingga 2 porsi). Karena pada awalnya mereka merasa sangat kelaparan, lalu mereka makan siang dengan lahap (atau kalap? Hingga keringat bercucuran lalu berkata, “Wah...abis makan jadi seger!!!”. Seger apaan, ada juga abis makan, terus kekenyangan terus jadinya ngantuk.) maka setelah makan siang mereka merasa kekenyangan. Belum lagi untuk para pekerja yang merokok. Mereka “wajib” untuk merokok dahulu selepas makan, karena mereka menganggap sebatang rokok sebagai “dessert”.
Karena merasa kekenyangan maka banyak diantara mereka yang menjadi malas dan merasa ngantuk (tu..bener kan jadi ngantuk!!!). Banyak di antara mereka yang memilih untuk tidur siang setelah makan siang. Karena mengantuk itulah maka selepas makan siang produktivitas mereka pun bukannya kembali membaik (seperti pukul 08.00-10.30) malah tetap buruk. Bedanya jika tadi produktivitas mereka buruk karena kelaparan maka kini karena kekenyangan.
Hal ini sangatlah berbeda dengan para pekerja “Bule”. Kita asumsikan mereka mempunyai jadwal sarapan yang sama dengan bangsa kita (karena saya ingin fokus kepada para pekerja Bule yang bekerja di Indonesia, agar perbandingannya lebih komparatif), yaitu pada pukul 06.00-07.00. Setelah itu sama seperti para pekerja Indonesia mereka pun segera pergi untuk bekerja. Produktivitas mereka pun sedang kencang-kencangnya pada pukul 08.00 10.30. Baru setelah pukul 10.30 mereka mulai merasa kelaparan.
Disinilah letak perbedaan antara pekerja Indonesia dengan pekerja Bule yang menjadi kunci.Saat pekerja Bule kelaparan setelah pukul 10.30 mereka menyemil atau makan snack (biasa dikenal dengan nyenek). Dengan nyenek maka rasa lapar mereka pun sedikit terobati sehingga produktivitas mereka tidak turun terlalu jauh seperti para pekerja Indonesia atau bahkan tetap terjaga seperti sebelumnya. Karena mereka biasa nyenek maka saat makan siang mereka tidak merasa kelaparan yang amat menderita. Sehingga mereka pun menyantap makan siang dengan porsi secukupnya. Setelah makan siang mereka tidak merasa kekenyangan, hanya “cukup kenyang” karena tadi hanya “cukup lapar”. Karena perut mereka tidak terlalu memuat banyak muatan (baca: kekenyangan) maka produktivitas mereka setelah makan siang dapat terjaga dan kembali seperti pada pukul 08.00-10.30.
Ternyata nyenek menjadi faktor kunci yang memegang peranan penting dalam menentukan produktivitas. Oleh karena itu, sangatlah disarankan bagi para masyarakat Indonesia (tidak hanya pekerja saja) untuk nyenek seperti para pekerja Bule saat rasa lapar mulai mengganggu. Hal ini dikarenakan supaya rasa lapar tersebut tidak sampai menganggu produktivitas dan tidak sampai membuat kita merasa sangat kelaparan saat makan siang. Sehingga kita dapat kenyang dengan makan siang secukupnya dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan tidak baik. Seperti salah satu hadist Rasul, yaitu kita dianjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang. Menurut saya hal tersebut ada hubungannya dengan rasa kekenyangan yang dapat mengganggu produktivitas.
Selain itu nyenek juga mempunyai manfaat lain, yaitu sebagai ajang sosial. Istirahat 5-10 menit (contoh: Kopet dll) sambil nyenek ditemani obrolan-obrolan ringan bersama rekan-rekan kerja akan membuat suasana di lingkungan kerja menjadi lebih akrab dan hangat. Selain itu hubungan antar pekerja juga makin akrab. Dengan hubungan yang makin akrab ditambah suasana yang juga semakin haromis dan kondusif maka produktivitas para pekerja juga akan meningkat.
Nyenek --> tidak terlalu lapar --> produktivitas terjaga --> makan siang secukupnya --> tidak kekenyangan --> produktivitas juga masih terjaga --> bangsa untung
Senin, 07 September 2009
GET MORE WITH DISTRO!!!!!!!
GET MORE WITH DISTRO!!!!!!!
Saat ini industri kreatif di Indonesia sudah mulai berkembang dengan pesat. Salah satu jenis industri kreatif yang mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut ialah dengan membuka Distro (Distribution Store). Jika kita membandingkan distro dengan usaha-usaha industri kreatif lainnya seperti rumah makan, usaha desain dll maka kita akan menemukan bahwa distro mempunyai beberapa keunggulan ayng tidak didapatkan pada usaha sejenis seperti eksklusifitas dan bervariasinya produk yang dijual serta kita bisa mengembangkan distro yang kita miliki dengan membuka restauran.
Seperti kita ketahui rata-rata distro mempunyai vendor pembuatan baju khusus, dengan kata lain pakaian yang dijual di distro tidak diproduksi secara masal. Hal tersebut berbeda dengan Department Store yang menjual baju secara pasaran sehingga tidak terdapat sifat eksklusifitasnya. Dengan begitu pakaian yang dijual di distro lebih bersifat “orisinal” dan “eksklusif”. Apalagi sekarang ini pakaian tidak hanya dipandang sebagai sekedar penutup aurat tetapi kini menjadi semacam identitas diri dari pemakainya. Maka konsumen akan lebih menyenangi pakaian yang mencerminkan citra diri mereka. Sehingga apabila para konsumen ingin membeli pakaian yang “tidak pasaran” dan mencerminkan identitas maka biasanya mereka cenderung untuk membeli di distro. Bahkan ada beberapa distro yang menjual pakaian dengan tema-tema tertentu, misalnya ada distro yang khusus menjual kaos-kaos band musik serta ada yang berfokus pada kaos-kaos yang bertemakan lingkungan.
Apabila kita masuk ke dalam sebuah distro maka kita akan mendapati bahwa biasanya distro menjual berbagai barang “unik” yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Ada beberapa distro yang menjual berbagai merchandise dari berbagai band-band musik seperti kaos, kaset, cd (compact disc), video rekaman konser hingga poster. Selain itu juga ada yang menjual berbagai barang-barang yang berhubungan dengan hobi seperti miniatur tokoh-tokoh serta koleksi komik, sepatu-sepatu edisi terbatas (limited editon), perlengkapan skateboard hingga perlengkapan musik. Apabila kita ingin mencari barang-barang yang “unik”, maka salah satu alternatif lokasi yang dituju ialah distro.
Keunggulan lain dari distro ialah kita bisa membuka restauran yang berlokasi bersebelahan dengan distro yang kita buka. Sudah bukan rahasia lagi bawa generasi muda Indonesia sekarang ini mempunyai budaya nongkrong serta kongkouw-kongkouw. Konsumen distro rata-rata masih berusia muda, setidaknya berjiwa muda, maka biasanya mereka datang bergerombol bersama teman-temannya. Jika kita membuka restauran, maka para konsumen yang lelah sehabis berbelanja tidak perlu repot untuk mencari tempat melepas lelah. Mereka bisa beristirahat sejenak di restauran kita, bahkan besar kemungkinan mereka akan mencari makan untuk mengisi perut mereka, sambil membicarakan tentang pakaian apa saja yang mereka beli bersama teman-teman mereka, sehingga restauran yang kita buka akan didatangi pengunjung distro.
Satu hal yang menjadi perhatian dengan membuka restauran ialah adanya korelasi antara kualitas pakaian yang dijual di distro dengan ramainya pengunjung restauran. Karena umumnya mereka datang untuk berbelanja pakaian, maka kita tidak boleh melupakan kualitas dari pakaian yang dijual. Karena apabila kualitas pakaian yang dijual buruk hal itu akan berdampak pada berkurangnya pengunjung distro yang juga berarti penurunan pada pengunjung restauran. Di lain sisi, apabila distro kita ramai, maka pengunjung restauran juga akan ramai. Oleh karena itu kita harus menjaga kualitas dari kedua jenis usaha tersebut.
Karena distro mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan usaha sejenis lannya, maka distro dapat dijadikan alternatif untuk berinvestasi. Terlebih distro bergerak di sektor riil, sehingga dengan membuka distro maka kita berarti menciptakan lapangan pekerjaan yang akan menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sudah saatnya kita mengambil inisiatif untuk meningkatkan pertumbuan perekonomian dan mengurangi pengangguran, jangalah hanya berpangku tangan dan mengharapkan pemerintah yang melakukan segalanya, karena pemerintah bukanlah dewa yang bisa menyelesaikan segala permasalahan di bangsa ini, tetapi perlu adanya usaha dan bantuan dari kita semua. Maju terus Indonesia!!!!!
Saat ini industri kreatif di Indonesia sudah mulai berkembang dengan pesat. Salah satu jenis industri kreatif yang mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut ialah dengan membuka Distro (Distribution Store). Jika kita membandingkan distro dengan usaha-usaha industri kreatif lainnya seperti rumah makan, usaha desain dll maka kita akan menemukan bahwa distro mempunyai beberapa keunggulan ayng tidak didapatkan pada usaha sejenis seperti eksklusifitas dan bervariasinya produk yang dijual serta kita bisa mengembangkan distro yang kita miliki dengan membuka restauran.
Seperti kita ketahui rata-rata distro mempunyai vendor pembuatan baju khusus, dengan kata lain pakaian yang dijual di distro tidak diproduksi secara masal. Hal tersebut berbeda dengan Department Store yang menjual baju secara pasaran sehingga tidak terdapat sifat eksklusifitasnya. Dengan begitu pakaian yang dijual di distro lebih bersifat “orisinal” dan “eksklusif”. Apalagi sekarang ini pakaian tidak hanya dipandang sebagai sekedar penutup aurat tetapi kini menjadi semacam identitas diri dari pemakainya. Maka konsumen akan lebih menyenangi pakaian yang mencerminkan citra diri mereka. Sehingga apabila para konsumen ingin membeli pakaian yang “tidak pasaran” dan mencerminkan identitas maka biasanya mereka cenderung untuk membeli di distro. Bahkan ada beberapa distro yang menjual pakaian dengan tema-tema tertentu, misalnya ada distro yang khusus menjual kaos-kaos band musik serta ada yang berfokus pada kaos-kaos yang bertemakan lingkungan.
Apabila kita masuk ke dalam sebuah distro maka kita akan mendapati bahwa biasanya distro menjual berbagai barang “unik” yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Ada beberapa distro yang menjual berbagai merchandise dari berbagai band-band musik seperti kaos, kaset, cd (compact disc), video rekaman konser hingga poster. Selain itu juga ada yang menjual berbagai barang-barang yang berhubungan dengan hobi seperti miniatur tokoh-tokoh serta koleksi komik, sepatu-sepatu edisi terbatas (limited editon), perlengkapan skateboard hingga perlengkapan musik. Apabila kita ingin mencari barang-barang yang “unik”, maka salah satu alternatif lokasi yang dituju ialah distro.
Keunggulan lain dari distro ialah kita bisa membuka restauran yang berlokasi bersebelahan dengan distro yang kita buka. Sudah bukan rahasia lagi bawa generasi muda Indonesia sekarang ini mempunyai budaya nongkrong serta kongkouw-kongkouw. Konsumen distro rata-rata masih berusia muda, setidaknya berjiwa muda, maka biasanya mereka datang bergerombol bersama teman-temannya. Jika kita membuka restauran, maka para konsumen yang lelah sehabis berbelanja tidak perlu repot untuk mencari tempat melepas lelah. Mereka bisa beristirahat sejenak di restauran kita, bahkan besar kemungkinan mereka akan mencari makan untuk mengisi perut mereka, sambil membicarakan tentang pakaian apa saja yang mereka beli bersama teman-teman mereka, sehingga restauran yang kita buka akan didatangi pengunjung distro.
Satu hal yang menjadi perhatian dengan membuka restauran ialah adanya korelasi antara kualitas pakaian yang dijual di distro dengan ramainya pengunjung restauran. Karena umumnya mereka datang untuk berbelanja pakaian, maka kita tidak boleh melupakan kualitas dari pakaian yang dijual. Karena apabila kualitas pakaian yang dijual buruk hal itu akan berdampak pada berkurangnya pengunjung distro yang juga berarti penurunan pada pengunjung restauran. Di lain sisi, apabila distro kita ramai, maka pengunjung restauran juga akan ramai. Oleh karena itu kita harus menjaga kualitas dari kedua jenis usaha tersebut.
Karena distro mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan usaha sejenis lannya, maka distro dapat dijadikan alternatif untuk berinvestasi. Terlebih distro bergerak di sektor riil, sehingga dengan membuka distro maka kita berarti menciptakan lapangan pekerjaan yang akan menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sudah saatnya kita mengambil inisiatif untuk meningkatkan pertumbuan perekonomian dan mengurangi pengangguran, jangalah hanya berpangku tangan dan mengharapkan pemerintah yang melakukan segalanya, karena pemerintah bukanlah dewa yang bisa menyelesaikan segala permasalahan di bangsa ini, tetapi perlu adanya usaha dan bantuan dari kita semua. Maju terus Indonesia!!!!!
resensi "namesake"
Judul Buku : The Namesake (Makna Sebuah Nama)
Penerbit : Gramedia
Jumlah halaman : 328 halaman
Penulis : Jhumpa Lahiri
Sebagai seorang manusia, pasti kita mempunyai setiap nama. Tetapi kadang suatu saat kita merasa tidak cocok dengan nama kita, mungkin terlalu prestige, terlalu kuno atau bahkan kita merasa bingung dengan arti nama tersebut. Hal itulah yang menjadi “bumbu” dalam novel karangan Jhumpa Lahiri ini, bagaimana konflik batin dari seseorang yang seiring bertambahnya usia semakin merasa bahwa namanya tidak ia inginkan. Selain itu novel ini mampu menceritakan kisah tentang suatu keluarga india yang beremigrasi ke Amerika Serikat dengan sangat baik sehingga dapat dijadikan gambaran bagaimana kehidupan para keluarga transmigran tersebut pada masa itu. Novel ini sedikit berfokus kepada Gogol dan Ashoke, walaupun kedua tokoh di keluarga tersebut, Ahimka dan Sonia, juga tidak lupa untuk diceritakan dengan cukup detail.
Sebagai seorang pemuda keturunan India yang lahir dan tumbuh di Amerika, Gogol merasa bahwa namanya itu aneh karena nama Gogol berasal dari Rusia, yaitu Nicholai Gogol yang merupakan salah satu tokoh sastra terkenal Rusia. Satu hal yang tidak ia mengetahui adalah adanya alasan khusus dari ayahnya, Ashoke, mengapa ia memberi nama Gogol kepada putranya, karena pasti ada alasan dan harapan di balik setiap nama yang diberikan.
Dengan menceritakan kehidupan Ashoke dan Gogol maka kita seakan mendapatkan bagaimana kondisi hubungan dan pebedaan pada gaya hidup mereka. Suatu hal yang umum, bahwa hidup seorang ayah tidak mungkin sama dengan anaknya. Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Ashoke dan Ahimsa dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Novel ini mampu berganti cerita dengan baik dan mengalir, pada suatu bagian diceritakan tentang Gogol, lalu pada bagian selanjutnya tentang Ashoke. Dengan begitu maka kita tidak akan terasa bosan, bahkan dengan begitu kita bisa menebak kondisi hubungan mereka berdua. Salah satu hal yang menjadi keunggulan dalam nove ini ialah kesederhanaannya. Dengan mengambil tema yang bisa terjadi pada siapa saja, keluarga dan arti dari sebuah nama, membuat kita merasa “akrab” dengan novel ini. Dengan begitu kita bisa menikmati setiap halaman pada buku ini tanpa harus mengernyitkan dahi, walaupun novel ini bukanlah novel pop, karena sesuatu yang sederhana kadang justru sangat rumit.
Satu hal yang bisa kita ketahui dengan membaca novel ini kita bisa mengetahui bagaimana arti dari sebuah nama dan peran keluarga dalam membangun nama tersebut. Bagaimana nama tidak hanya sekedar sebuah kata yang diucapkan oleh orang lain untuk kita, tetapi dibalik itu semua sebuah nama mengandung arti kehidupan yang kita jalani. Pada akhirnya semua bergantung kepada kita, bagaimana kita akan “mewarnai” nama kita, apakah dengan warna yang cerah ataukah dengan warnayang gelap? Hal itu akan terlihat, bagaimana dan oleh siapa nanti nama kita diucapkan.
Penerbit : Gramedia
Jumlah halaman : 328 halaman
Penulis : Jhumpa Lahiri
Sebagai seorang manusia, pasti kita mempunyai setiap nama. Tetapi kadang suatu saat kita merasa tidak cocok dengan nama kita, mungkin terlalu prestige, terlalu kuno atau bahkan kita merasa bingung dengan arti nama tersebut. Hal itulah yang menjadi “bumbu” dalam novel karangan Jhumpa Lahiri ini, bagaimana konflik batin dari seseorang yang seiring bertambahnya usia semakin merasa bahwa namanya tidak ia inginkan. Selain itu novel ini mampu menceritakan kisah tentang suatu keluarga india yang beremigrasi ke Amerika Serikat dengan sangat baik sehingga dapat dijadikan gambaran bagaimana kehidupan para keluarga transmigran tersebut pada masa itu. Novel ini sedikit berfokus kepada Gogol dan Ashoke, walaupun kedua tokoh di keluarga tersebut, Ahimka dan Sonia, juga tidak lupa untuk diceritakan dengan cukup detail.
Sebagai seorang pemuda keturunan India yang lahir dan tumbuh di Amerika, Gogol merasa bahwa namanya itu aneh karena nama Gogol berasal dari Rusia, yaitu Nicholai Gogol yang merupakan salah satu tokoh sastra terkenal Rusia. Satu hal yang tidak ia mengetahui adalah adanya alasan khusus dari ayahnya, Ashoke, mengapa ia memberi nama Gogol kepada putranya, karena pasti ada alasan dan harapan di balik setiap nama yang diberikan.
Dengan menceritakan kehidupan Ashoke dan Gogol maka kita seakan mendapatkan bagaimana kondisi hubungan dan pebedaan pada gaya hidup mereka. Suatu hal yang umum, bahwa hidup seorang ayah tidak mungkin sama dengan anaknya. Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Ashoke dan Ahimsa dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Novel ini mampu berganti cerita dengan baik dan mengalir, pada suatu bagian diceritakan tentang Gogol, lalu pada bagian selanjutnya tentang Ashoke. Dengan begitu maka kita tidak akan terasa bosan, bahkan dengan begitu kita bisa menebak kondisi hubungan mereka berdua. Salah satu hal yang menjadi keunggulan dalam nove ini ialah kesederhanaannya. Dengan mengambil tema yang bisa terjadi pada siapa saja, keluarga dan arti dari sebuah nama, membuat kita merasa “akrab” dengan novel ini. Dengan begitu kita bisa menikmati setiap halaman pada buku ini tanpa harus mengernyitkan dahi, walaupun novel ini bukanlah novel pop, karena sesuatu yang sederhana kadang justru sangat rumit.
Satu hal yang bisa kita ketahui dengan membaca novel ini kita bisa mengetahui bagaimana arti dari sebuah nama dan peran keluarga dalam membangun nama tersebut. Bagaimana nama tidak hanya sekedar sebuah kata yang diucapkan oleh orang lain untuk kita, tetapi dibalik itu semua sebuah nama mengandung arti kehidupan yang kita jalani. Pada akhirnya semua bergantung kepada kita, bagaimana kita akan “mewarnai” nama kita, apakah dengan warna yang cerah ataukah dengan warnayang gelap? Hal itu akan terlihat, bagaimana dan oleh siapa nanti nama kita diucapkan.
Langganan:
Postingan (Atom)